Sabtu, Agustus 20, 2011

4 Jenis Kereta dalam 3 Hari 2 Malam

Hari Selasa dapat telepon. Panggilan tes untuk editor buku fiksi. Kapan? Tanggal 18, hari Kamis. Haissh...langsung bingung karena cukup mendadak. Malang-Bandung juga nggak dekat (kecuali kalau mau langsung terbang naik pesawat). Hari Rabu pagi-pagi langsung pergi ke stasiun Kota Baru Malang, beli tiket Malabar bisnis untuk keberangkatan sore itu juga.

Setahun yang lalu juga pas di bulan puasa, pertama kalinya aku pergi ke Bandung. Pertama kali naik Malabar. Sendirian. Kali ini, hal itu kembali terulang. Yang berbeda hanya tujuan dan maksud kedatangan, hoho. Serta, kali ini bukan pertama kalinya lagi naik kereta sendirian.

Sebelum berangkat, berniat buat tidur lebih banyak di rumah karena kalau udah di dalem kereta bakal susah tidur. Sayangnya, aku malah nggak bisa tidur. Baiklah...

Malabar Menuju Bandung (untuk yang ketiga kalinya)
Jam 3 sore udah sampai di Stasiun Kota Baru Malang. Nunggu sebentar dan datanglah kereta Malabar. Langsung nyari tempat duduk sesuai dengan yang ada di tiket. Hup!
Ada seorang ibu yang sedang menangis. Rupanya entah-saudaranya-atau-siapa akan pergi ke Bandung. Ada lagi seorang anak perempuan dan ibunya yang sedang berdadah-dadah dengan sang ayah. Dan, ada sekumpulan bule (sepertinya dari Jerman) yang ribut bukan main, "Ya ampun Mas, itu lagi pada ngobrol apa teriak-teriak sih, kenceng bener suaranya." Pada akhirnya aku tahu sekumpulan bule itu turun di Stasiun Tugu Yogya dan tampak terburu-buru karena sepertinya mereka baru sadar kalau sudah sampai di Stasiun Tugu sesaat sebelum kereta kembali berjalan.
Tadinya ada seseorang yang duduk di sebelahku, tapi dia akhirnya pindah ke tempat duduk belakang. Hehe, kali ini aku memang ingin duduk sendiri saja.



Tes dimulai pukul 10 pagi dan kereta Malabar sampai di Stasiun Bandung pukul 08.40. Hmm, akhirnya aku merapikan diriku di toilet kereta (demi mempersingkat waktu dan nggak perlu cari-cari toilet lagi setelah turun dari kereta). Akibatnya? Fiuh, ribet bukan main.

Semalaman di kereta, berusaha untuk tidur. Tetap saja susah bukan main. Paginya jadi kusut bin kucel. Ya, setidaknya masih sempat cuci muka, gosok gigi, ganti baju (meskipun nggak sempat mandi pagi, heu).

Sampai di kota Bandung untuk yang ketiga kalinya. Alhamdulillah, nggak begitu bingung lagi. Karena takut terlambat, aku langsung naik taksi ke kantor pusat Grafindo. Widdih, si sopir taksinya kayak kurang mendengar dengan baik apa yang aku ucapkan.
"Kantornya namanya apa?"
"Grafindo," jawabku.
"O...Bapindo."
"Gra...findo," ulangku.
"Iya, Bapindo," katanya lagi masih keukeuh.
Haish, terserah lah.
Habis itu aku disuruh turun dan tanya ke penjaga warung di pinggir jalan. Katanya tinggal belok kiri. Setelah taksi berjalan, aku disuruh turun lagi buat tanya ke seorang satpam. Katanya kita sudah kelewatan dan harus balik lagi.
"Saya tadi sudah curiga tanya kok ke tukang cendol (ke penjaga warung yang tadi), untung tadi bisa tanya ke orang itu (satpam)," katanya.
Eh? tadi yang nyuruh saya turun dan tanya-tanya ke mereka siapa? Dari nada bicaranya kayak aku yang salah gitu, sebel. Beda sama waktu ke Semarang, malah si bapak sopirnya yang mbantuin nyari alamat yang dimaksud (dan bukan penumpangnya yang disuruh turun dan malah disalahin karena nanya ke orang yang salah).

"Dari Jawa ya, Jawa mana?" tanya si bapak sopir. Emangnya Bandung bukan di Jawa ya.
"Malang," jawabku.
"Semarang?"
"Bukan, Malang," aaargh!
"Iya, Semarang...," gumamnya. Aaaargh! Ya, sudahlah.

Waktu akhirnya sampai di alamat yang dimaksud, jadi lumayan lega. Akhirnya bisa sampai juga. Sempat bingung harus masuk ke gedung yang mana, beruntung akhirnya ketemu sama seseorang lagi yang rupanya juga akan ikut tes lagi, namanya Mbak Dian lulusan Unpad.

Tes? Pusing.Ternyata yang ikut tes ini hanya dua orang. Tes tulisnya ada nerjemahin dari Ing ke Indo, nyunting tulisan, sama bikin surat dalam bahasa Inggris. Disedian sebuah kamus Eng-Ind. Langsung ngerjain tes, kepalaku pusing...huhu. Tadi sempet 'sarapan' sama dua potong roti dan sekotak susu, setidaknya ada sedikit energi buat mikir. Mbak Dian selesai lebih cepat dan dia pamit duluan. Sedangkan aku, masih disuruh nunggu dulu buat langsung lanjut ke wawancara. Sebenarnya wawancara akan dilakukan tidak di hari yang sama, tapi berhubung aku dari luar kota jadilah wawancara dilakukan hari itu juga.

Nunggu kurang lebih satu jam. Kumanfaatkan dengan pergi ke toilet dan menenangkan diri. Badan masih sangat capek. Pikiran nggak sepenuhnya 'normal'. Sekitar jam 1 siang langsung wawancara.

Jadi Editor (yang amat sangat super) JuniorDiwawancara tanya ini-itu, terutama tentang background pendidikan dan kesukaan di bidang penulisan, khususnya karya-karya fiksi. Ketahuan deh, aku sukanya penulis-penulis baru dan hampir sama sekali nggak menyentuh karya sastra seperti dari penulis Pramoedya atau Goenawan Muhamad. Hhh, hopeless sudah kayaknya aku nggak bakal diterima.

Yang dicari 'sebenarnya' adalah yang berpengalaman: aku? sama sekali nggak ada pengalaman.
Yang dicari adalah yang bisa menerjemahkan tulisan dari Ing ke Indo: aku? hasil terjemahan masih berantakan dan kaku.
Yang dicari adalah yang memang bisa menyunting tulisan: aku? nol! kesalahan fatal sudah aku lakukan, sesuatu yang sangat dasar saja belum bisa aku lakukan.
Yang suka karya fiksi dan paham dengan isinya: aku? sempat menyatakan bahwa ada sebuah buku terjemahan yang aku suka di surat lamaran, tapi begitu ditanya tentang apa ceritanya malah ngeblank. Dodol banget diriku ini...aku jadi ditertawain.

Tapi, bukannya semua orang yang berpengalaman dulu juga nggak berpengalaman.
Yang penting hanya dua: mau belajar dan bisa belajar.
Aku hanya meyakinkan bahwa aku benar-benar akan belajar.

Kapan bisa mulai kerja?
Eh?
September. Langsung nunjuk kalender dan nentuin mulai kapan aku udah bisa masuk.
Lho?

Dari informasi yang diberikan, aku akan jadi yang paling junior dan paling tak berpengalaman. Jadinya, masih dalam masa percobaan. Ya, kalau memang aku tak berbakat buat jadi editor, ya sudah aku bisa langsung resign.

Jadi?

Insyaallah bakal 'hijrah' ke Bandung.
Antara ingin dan tak ingin, tapi harus siap. Kapan lagi ada kesempatan. Bismillah...semoga bisa belajar lebih banyak lagi, meskipun nekat. Can I survive there?

Naik Lodaya MalamKali ini kembali ke Stasiun Bandung dengan naik angkot. Huwaah, lebih ruwet dibandingkan di Malang. Hiks, aku jadi kangen sama Malang. Naik angkot dua kali dan yeah masih juga ngetem. Sampai di stasiun, sudah dipastikan aku ketinggalan naik kereta Malabar. Akhirnya, aku malah beli tiket Lodaya Malam dan turun di Yogya. Masih jam 4 sore dan kereta Lodaya baru berangkat jam 8. Apa yang aku lakukan selama 4 jam? Bengong. Ngeliatin orang sekitar. Baca novel. Dan, bengong...

Mulai banyak mikirin tentang apa yang akan aku lakukan ke depannya. Tentang ketakutan, kekhawatiran, keinginan, dan semua hal yang masih berputar-putar di dalam otakku. Perutku jadi mual.

Jam 8 malam langsung naik Lodaya Malam duduk bersama seorang ibu yang juga turun di Yogya. Sempat sedikit mengobrol. Wah, rupanya memang Bandung dan Malang sama-sama sudah lama tak diguyur hujan. Aku langsung terkantuk-kantuk, sedikit-sedikit bisa terlelap. Nyenyak? sama sekali, mana pernah aku bisa nyenyak tidur di dalam kendaraan.

Jam 4 pagi sampai di Stasiun Tugu.

Jalan-jalan di Malioboro Saat SubuhEntah apa yang tiba-tiba membuatku ingin jalan-jalan sendirian di sepanjang jalan Malioboro sebelum Subuh. Menyusuri jalan-jalannya. Beberapa kali menolak dengan halus tawaran tukang ojek dan tukang becak. Melihat beberapa tukang becak yang masih tidur berkemul sarung. Melihat beberapa warung yang membereskan dagangannya setelah waktu imsak berakhir. Melihat lampu-lampu jalan yang menerangi sepanjang jalan Malioboro. Lengang.

Agak aneh memang. Sendirian. Memanggul tas ransel. Jalan-jalan seperti orang nyasar di Malioboro pada saat Subuh. Sempat ada seseorang yang menghampiri dan tanya mau ke mana? kok sendirian? Aku hanya melenggang cuek, meskipun ada juga sedikit rasa takut hehe.

Kembali ke Stasiun Tugu. Melihat beberapa orang yang baru keluar dari stasiun. Ada yang menunggu jemputan. Ada juga yang naik taksi atau mobil carteran. Melihat raut wajah bahagia saat bisa berjumpa lagi dengan saudara yang baru sampai di Yogya. Aku? mendengarkan beberapa lagu dari ponsel sambil ngesot di lantai stasiun depan loket, menunggu loket dibuka.

Sancaka Pagi Menuju SurabayaJam 6 pagi langsung ikut antri buat beli tiket ke Surabaya. Sebenarnya aku ingin naik Sri Tanjung di stasiun Lempuyangan (lebih ekonomis), tapi ya kali ini mencoba mengijinkan diri untuk naik kereta yang berbeda meskipun dengan tiket yang jauh lebih mahal. Sebelum masuk gerbong, mampir dulu ke toilet untuk sekedar membersihkan diri biar nggak kelihatan terlalu kucel.

Yup! Nyaman sudah posisi di dalam kereta. Kembali mendengarkan beberapa lagu dari mp3 ponsel. Ada seorang ibu yang sempat khawatir 'membiarkan' sang nenek berangkat ke Madiun sendirian. Kereta kembali berjalan. Beberapa kali mencoba untuk kembali tidur. Melihat sawah, petani, pohon-pohon pisang dari balik jendela kereta api. Terlelap. Merasakan matahari yang semakin menyengat. Menyeberangi sungai lebar. Melewati beberapa stasiun kecil. Melihat langit.

Kembali Menunggu, kali ini PenataranJam 12 siang aku turun di stasiun Wonokromo dan membeli tiket kereta ke Malang. Whacks? jam setengah 4 sore. Fiuh, baiklah saat ini aku kembali menunggu. Semalam di Stasiun Bandung menunggu 4 jam untuk naik Lodaya Malam. Paginya menunggu selama 3 jam di Stasiun Tugu Yogya. Lalu, siangnya menunggu selama 3, 5 jam di stasiun Wonokromo Surabaya. The art of waiting and doing nothing.

Baca novel. Mendengar nyanyian dari pengamen di stasiun, salah satu penyanyinya adalah seorang perempuan tuna netra yang sangat bersemangat. Beberapa kali pindah tempat duduk. Sebal dengan seseorang yang langsung merokok tepat di sebelahku. Melihat seorang penjual roti maryam yang hanya berjalan mondar-mandir tanpa menjajakan dagangannya dengan bersuara, "Roti Maryam..." atau apalah. Dan, aku berakhir lagi-lagi dengan ngesot di lantai stasiun bersandar ke dinding.

Entah kenapa saat kereta Penataran tiba, aku langsung bersemangat. Sebentar lagi akan sampai di rumah. Wah, cukup ramai, untunglah masih bisa menemukan sebuah tempat duduk. Dua orang bapak yang duduk di depanku terkantuk-kantuk. Seorang perempuan yang duduk di sebelahku juga tampak kelelahan tertidur dan langsung semangat bangun saat ia sudah sampai di stasiun tujuannya. Aku pun ikut-ikutan (pura-pura) tertidur saat ada seorang anak perempuan mengamen (lho?).

Tak lama kemudian, aku pindah untuk duduk di sebelah seorang bapak. Hanya bertanya akan ke mana dan apa aku kuliah. Salah satu  hal yang paling 'menghibur' saat naik kereta api ekonomi adalah para pedadang asongannya.
"Roti Goreng anget, mak nyus, sewuan, sak bantal-bantal."
Roti goreng hangat "Mak Nyus" seribuan sebesar bantal.
"Buah'e sewuan-sewuan."
Buahnya (nanas, semangka, blewah, pepaya) seribuan.
"Anggur hitam, anggur merah, manis, strob...beri."
"Sate kerang, selak gak uman."
Sate kerang, keburu tidak kebagian.
"Pentol caos manis caos pedes, sewuan."
Bakso bulat bersaus tomat dan cabai, seribuan.
"Donat, sewu limang atusan, limang ewu papat."
Donat seribu lima ratusan, beli empat hanya lima ribu.
"Keripik pisang, telo, rong ewu limang atusan."
Keripiki pisang dan ubi dua ribu lima ratusan.
"Persiapan buat buka, es jeruk, es teh, 2500an."

Kemudian, aku melihat seorang pedagang memasang headset dan tampaknya ia mendengar radio dan langsung meyakinkan bahwa sudah adzan Subuh. "Sampun, buko..."
Para penumpang langsung minum dan makan sesuai dengan bekal yang dibawanya. Sebenarnya aku sedang tak berpuasa, tapi pura-pura ikut sibuk makan buka (meski hanya dengan biskuit gandum). Bapak yang duduk di sebelahku langsung menegak segelas air mineral yang dibawanya. Aku sempat menawari biskuit yang kubawa, tapi dia tak mau. Saat aku akan mencoba menawarinya lagi, dia tampak diam dan rupanya dia sedang shalat Maghrib. Baru setelah kulihat dia selesai shalat, kutawari lagi tapi tetap tak mau. Hmmm, mungkin dengan segelas air mineral tadi sudah cukup membuatnya kenyang.

Beberapa laki-laki mulai mengebulkan asap rokok. Aku sempat 'menangis' terkena asap rokok yang membuat kedua mataku pedas dan berair. Rokok, hiks...inilah yang paling tak kusuka saat naik kereta api ekonomi.

Jam setengah 7 malam, akhirnya sampai juga di Stasiun Kota Baru Malang. Huwaah...aku sangat menyayangi kota ini (nggak kebayang kalau entar udah bakal beneran hijrah ke Bandung). Celingak-celinguk nyari bapak, dan akhirnya kembali pulang. Wah, ngebut euy dan aku nggak pakai helm pula. Capek. Sampai di rumah langsung mandi dan makan. Habis itu langsung tidur.

Cukuplah kali ini...Malabar-Lodaya Malam-Sancaka Pagi-Penataran dari hari Rabu sore hingga Jumat malam.

4 komentar:

  1. endah maaf aku komen tanpa membaca sampai selesai :)
    alhamdulillah, turut berbahagia. jalan kita mirip, aku lagi daftar magang di Bentang. tes pertamanya via imel ni.. hehe jadi ga gitu ribet, meski juga sama2 di sleman sih. :D

    BalasHapus
  2. Wah, di Bentang ya. Aku sebenernya pengen banget ke sana (meskipun akhirnya nyasar ke Bandung). Gimana daftar magang di sana?

    BalasHapus
  3. kemarin ada lowongan gt sih, aku tau dari twitter. :)

    BalasHapus
  4. Wah, ntar kalau lolos magang di sana, kabar-kabari ya. Biar aku ada temennya belajar jadi editor fiksi juga :D

    BalasHapus