Jumat, Juli 20, 2012

Ramadhan Kembali Datang

Seusai shalat tarawih kemarin malam, ada seorang tetangga yang menyapaku, "Nggak pernah keluar (dari rumah) ya?"
...
"Gimana bisa keluar kalau kerjanya aja di rumah," sahut ibu setelah si ibu tetangga itu berjalan lain arah.
Hehe.

Nevertheless, welcoming Ramadhan with grace and happiness.
May Allah lead us to be a much better person.

Happy Fasting everyone!

Selasa, Juli 17, 2012

Berbagi Status

[dosen saya yang satu ini selalu rajin membuat status Facebook yang sangat panjang. sebagian besar sangat inspiratif, termasuk yang satu ini, yang rasanya bener-bener makjleb, hehe]

kau masih jobless, nyebar lamaran, menunggu panggilan?
kau naksir orang, lagi pendekatan dan mengharap jawaban?
kau hanya karyawan biasa, tak pernah mendapat promosi dan pengakuan?

Lebih dari semua itu, kau sudah berupaya keras, berdoa pagi-petang & siang-malam, tapi harapanmu tak kunjung datang. Kenapa? Sebab masih ada yang kurang.

Lihat saja cara kau memperlakukan dirimu sendiri. Matahari sudah tinggi tapi kau masih malas-malasan, menimang cangkir kopi. Atau kau yg perempuan masih acak2an dgn daster kumal, rambut awut-awutan. Kau yg menunggu jawaban cintamu sepanjang hari berkubang dalam kegalauan, ngeri jika cintamu dicampakkan. Sedikit pun tak terpikir olehmu untuk berlatih, menyiapkan diri menyambut kemenangan. Sikapmu memuakkan: dari cara dudukmu yg lesu, langkah yg gontai dan wajah yg memelas orang tahu: kau manusia minim prospek. Bukannya tak punya, tapi prospek itu kau kubur sendiri. Ayolah bangkit, sibukkan diri, tebar senyuman, pancarkan pesonamu, bersikaplah seolah-olah kau sudah punya pekerjaan atau posisi yg diperhitungkan. Isi harimu dgn sesuatu yg positif dan signifikan, memburu informasi, mencari kenalan, menjalin pertemanan. Aura positif yg kau tebarkan membuat orang terkesan. Mungkin kau menyebut ini berkhayal atau sinting-- saya menyebutnya 'mental preparation.' Persiapan mental, demi menjadi orang yg dihargai dan diperhitungkan. Inilah faktor pembeda yg amat menentukan: tak sedikit orang berpotensi ditolak lamarannya krn calon atasan tak suka melihat sikap, bahasa tubuh dan air mukanya yg memelas, apatis dan pesimistik. Kau ingin dihormati? Mulailah dgn menghormati diri sendiri: dgn bersolek sewajarnya, dgn mematut-matut diri--bukannya narsis atau lebay, tapi demi menyejukkan mata orang yg kau temui.

Para aktor Hollywood pememang Oscar suka menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk latihan dan menghayati peran dalam film yg akan mrk bintangi. Mereka berlatih jadi petinju, sopir taksi, eksekutif, atau politisi. Berlatih sepenuh hati agar peranan itu merasuk ke pikiran bawah sadarnya. Dan hasilnya tak pernah sia-sia. Mengapa tak kau tirukan kesungguhan mereka? Siapkan peran yg kau inginkan: jadi pegawai di perusahaan? Jadi karyawan yg diperhitungkan? Jadi kekasih yg dibanggakan? Latihlah dirimu, persiapkan kememanganmu.

Senyuman manis, sikap simpatik, jabat tangan erat, lagak dan perangai yg optimistis siap menyambut datangnya peluang. Ibarat sekeping logam, kau harus rajin memoles-moles diri dgn latihan rutin dan berkelanjutan agar dirimu menjadi magnet dengan kekuatan yg dahsyat: rejeki, pertemanan, simpati dan bantuan akan berdatangan karena daya tarikmu itu.

Kamis, Juli 05, 2012

Pekerjaan Impian

Ada beberapa pekerjaan impian yang kuinginkan. Tiga diantaranya sudah kudapatkan.

Pertama, menjadi editor di salah satu penerbit di Bandung. Masih jelas dalam ingatan tentang rasa ragu untuk mengikuti tes selama perjalanan Malang-Bandung kala itu. Masih jelas juga perasaan ketika harus buru-buru ke stasiun usai mengikuti wisuda di kampus (harus langsung kembali ke Bandung). Meskipun hanya enam bulan, banyak hal yang kupelajari di sana. Memutuskan untuk resign memang tidak mudah. Namun, aku tahu itulah pilihan yang terbaik yang bisa kubuat saat itu.

Kedua, menjadi penulis konten. Tepat sehari setelah kepulanganku dari Bandung, aku langsung dapat telepon untuk ditawari bekerja sebagai penulis konten. Untuk gaji memang tidak sebesar gaji sewaktu di Bandung. Namun, yang menyenangkan dari pekerjaan ini aku bisa mengasah kemampuan menulisku dan dibayar, hehe. Salah seorang teman kuliah mengatakan betapa enaknya aku mendapatkan pekerjaan ini karena bisa dikerjakan sambil santai. Kau benar, kawan, tetapi bukan berarti tanpa hambatan. Ada kalanya rasa bosan melanda. Tidak ada orang yang bisa diajak mengobrol ternyata cukup menyiksa pula. Belum lagi saat stuck tidak ada ide mau menulis apa.

Ketiga, menjadi editor lepas. Memang masih mendapatkan satu novel yang bisa kusunting tanpa harus bekerja di dalam kantor. Sangat menyenangkan. Aku bisa menyesuaikan waktuku untuk menyuntingnya tanpa diganggu apapun.

Dan, aku masih punya beberapa pekerjaan impian yang ingin kuraih.
Penulis novel.
Penulis kisah perjalanan (traveling)
Penerjemah buku.
Social Media Consultant
Social Media Enthusiast
Apa lagi ya...
Ya, masih ada yang lainnya lah.

Random and Puzzling Thoughts

Sering melamun.

Saat ini aku sudah mulai membiasakan diri menyelesaikan pekerjaan 2,5-3 jam saja. Meskipun, konten yang kutulis nggak bener-bener informatif, aku hanya berusaha untuk bisa menyelesaikannya dengan cepat dan beralih ke hal-hal lain. Jika sudah selesai, rasanya sangat lega.

Beberapa hari lalu akhirnya aku melegalisir ijazah. Setelah lulus yudisium setahun yang lalu, baru kali ini aku melegalisir ijazah. Masuk ke halaman kampus yang sepi (karena sedang libur semester), rasanya seperti orang asing. Masuk ke fakultas pun sempat pangling dan bingung mencari tempat legalisir ijazah. Sudah lima tahun berlalu sejak aku pertama kalinya menjejakkan kaki di kampus ini.

Saat berjalan, rasanya aku ingin kembali kuliah. Namun, kali ini dengan jalur beasiswa. Ingin kembali merasakan kesenangan mempelajari hal baru. Sayangnya, aku masih saja menunda-nunda. Bukannya langsung mengurus semua keperluan, aku malah mencari banyak alasan untuk tidak menyegerakannya.

Sering terdiam.

Aku tahu saat ini ada sesuatu yang sangat penting yang harus segera diselesaikan dalam keluarga. Saat bapak menceritakan hal ini, aku semakin merasa menjadi anak yang gagal. Kadang aku melihat bapak sendirian memikirkan sesuatu. Ibu pun tak bisa berbuat banyak. Aku? Rasanya aku malah tak ingin dilahirkan di dunia ini jika aku tak bisa membahagiakan ibu dan bapak. Waktu semakin menipis. I feel like I am in the dead-end.

Sering merasa.

Bahagia rasanya bisa menghadiri pernikahan seorang teman, sebuah pernikahan mewah nan megah. Memang itu bukanlah pertama kalinya aku menghadiri acara pernikahan seorang kawan. Aku pernah menghadiri sebuah acara pernikahan yang sederhana di malam takbir tahun lalu. Tidak mewah, tetapi aku bisa merasakan raut kebahagiaan sahabatku itu. Lalu, sebuah acara pernikahan yang cukup meriah dan entah kenapa aku merasa sedih karena tahu perasaan sang mempelai wanita beberapa bulan sebelum hari pernikahan itu.

Sering bermimpi.

Berulang kali ia hadir dalam mimpiku. Entah kenapa. Atau mungkin aku saja yang ternyata masih memikirkannya?
Aku pun memiliki impian-impian besar. Tak rela rasanya melihat seorang teman bisa lanjut kuliah S2 di Amerika. Kemudian, ada lagi yang ke Cina tahun ini. Mereka bisa, harusnya aku juga bisa. Aku benci saat aku malah meragukan kemampuanku sendiri. Seolah hal itu terlalu mustahil. Aku benci diriku sendiri yang berpikiran seperti itu. Dan, aku ingin membuang potongan diri yang kubenci itu.

Saat semuanya bercampur aduk menjadi satu di dalam pikiran.
Rasanya aku ingin tinggal di sebuah kota baru. Sejenak saja. Tanpa harus dipusingkan dengan pekerjaan, keraguan, apalagi rasa pesimis. Ingin rasanya kembali menjelajah tempat-tempat baru menemukan kepingan-kepingan arti kehidupan yang berharga.

Melangkah.


Rabu, Juli 04, 2012

Bikin "Rumah Baru"

Terbesit sebuah keinginan untuk membangun rumah baru alias blog baru. Alasannya? Hmm...ingin membuat sesuatu yang baru dan benar-benar serius. Selama ini blog terlama yang aku punya adalah ini. Sempat bikin blog di wordpress tetapi karena satu dan lain hal, blog itu aku hapus. Saat ini pun aku juga punya akun di Kompasiana (yang jarang sekali terupdate). Blog ini pun nggak selalu rajin ku-update. Paling kalau pas lagi pengen nulis aja baru deh nulis. Isinya? Random semuanya, hehe.

Tadi sudah sempat bikin akun blog baru. Rencananya mau minta bikinin theme yang personalized dari adek. Sesuatu yang beda dan ya, sebagai media pembelajaranku yang benar-benar baru. Kalau sudah bikin yang baru, blog ini mau dibuat apa? Ditinggalin? Ya, tunggu entar lah kalau "rumah baru" sudah selesai dibangun.

Minggu, Juli 01, 2012

Membentang Keelokan Tepian Kapuas



            Judul              : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
            Penulis            : Tere Liye
            Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
            Cetakan          : Kedua, Februari 2012
            Tebal              : 512 halaman
            ISBN               : 978-979-22-7913-9

            Kita bisa melihat Sungai Kapuas setidaknya dengan dua kisah yang berbeda. Pertama, sungai dengan kisah bencana sepanjang tahun. Di musim kemarau, sungai mengering hingga berubah menjadi seperti lapangan yang berdebu. Anak-anak kecil bahkan bisa bermain bola di sana. Penduduk pun kekurangan air bersih. Sebaliknya, saat musim penghujan datang, air di Sungai Kapuas bisa meluap. Kedua, sungai dengan kisah cinta. Terlihat beberapa sepit sudah berjejer rapi di dermaga kayu setiap paginya. Di urutan ke-13, tampak Borno yang setia menunggu seorang gadis menumpang di sepitnya tepat pukul 07.15.

“Kalian tahu, cinta sejati laksana sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar sungainya, karena semakin lama semakin banyak anak sungai perasaan yang bertemu.” (hal. 167-168)

Borno pernah bertanya pada Koh Acong, Cik Tulani, dan Pak Tua tentang panjang Sungai Kapuas. Bukannya langsung mendapatkan jawaban yang pasti, ia malah diomeli dan ditertawakan. Hidup di kota Pontianak yang sekaligus menyimpan misteri tentang asal-usul namanya ini, tak pernah lepas dengan kehidupan masyarakatnya di tepian Sungai Kapuas. Hampir semua kegiatan dan kehidupan masyarakatnya berpusat di sana. Sayangnya,  baru-baru ini terdengar kabar buruk bahwa Sungai Kapuas sempat tercempar dengan tumpahnya minyak sawit. Namun, sekarang kita akan menikmati sisi lain tentang Sungai Kapuas melalui kisah cinta dari seorang pemuda bernama Borno di Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.

 Seperti beberapa pemuda Indonesia yang bernasib kurang beruntung, Borno tak bisa melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Rencananya untuk bisa kuliah sambil bekerja tak bisa terlaksana. Selepas SMA, ia bekerja di sebuah pabrik pengolahan karet. Setelah bekerja selama enam bulan, ia dipecat bersama beberapa karyawan lain. Sejak saat itu ia mendapatkan pekerjaan baru sebagai penjaga palang masuk di dermaga feri.

“Sepanjang kau mau bekerja, kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya tidak pantas dengan ijazah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanah dan air terbentang luas.” (hal. 49)

Saat tahu bahwa Borno bekerja di dermaga feri, sontak Bang Togar yang sekaligus menjabat sebagai ketua Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta geram. Ia tak rela melihat Borno bekerja di pelampung (sebutan untuk kapal feri). Bahkan, Bang Togar melaminating dan menempel foto Borno besar-besar di dermaga kayu. Borno diboikot, ia tak boleh naik sepit hingga berhenti bekerja di pelampung.

“Kau anak tidak tahu diuntung, Borno! Tiga turunan! Tiga turunan pelampung itu menghabisi kehidupan kita!” (hal. 34)

Di usianya yang ke-12, Borno tinggal hanya bersama ibunya. Bapaknya yang merupakan seorang nelayan meninggal karena tersengat ubur-ubur. Borno sangat sedih saat itu. Tidak hanya ia harus menerima kenyataan bahwa ia menjadi anak yatim tetapi juga ia merasa ada perampasan hak kehidupan yang seharusnya masih bisa didapatkan oleh Bapaknya. Tepatnya sepuluh tahun yang lalu, Borno duduk di lorong RSUD Pontianak menangis terisak. Ia tak rela dada Bapaknya dibelah, ia tak rela.
Sejak aksi pemboikotan yang dilakukan oleh Bang Togar itu, Borno akhirnya berhenti bekerja di dermaga feri. Ia pun bekerja serabutan, menjadi petugas SPBU terapung, membantu Cik Tulani dan Koh Acong, hingga mencari kucing hilang. Kemudian, pada suatu malam, sebuah keputusan dibuat. Borno akan menjadi pengemudi sepit.
Mendapatkan pekerjaan baru sebagai pengemudi sepit tidaklah mulus. Tiga hari lamanya Borno harus rela diplonco Bang Togar. Pak Tua hanya bisa menghiburnya agar tidak mengambil hati sikap Bang Togar. Andi, sahabat Borno, hanya bisa mendengus mengetahui sikap Bang Togar pada Borno. Andi malah berniat untuk langsung mendorong Bang Togar jatuh ke Kapuas jika dirinya yang diperlakukan seperti itu.
Bagi penduduk Pontianak, segala aspek kehidupan mereka tak pernah bisa dilepaskan dari Sungai Kapuas. Penduduk sekitar terbiasa beraktivitas dengan sebuah perahu kayu panjang bermesin tempel bernama sepit. Keberadaan dermaga feri memang mengancam kehidupan para pengemudi sepit. Meskipun begitu, para pengemudi sepit tetap dengan setia mengantre di dermaga kayu setiap pagi. Mereka dengan tertib menunggu giliran menaikkan penumpang yang diatur oleh seorang petugas timer. Pak Tua adalah salah satunya.
Apa cinta sejati itu? Itulah pertanyaan terbesar Borno. Di tengah segala permasalahan dan kegundahan hati Borno, penulis menghadirkan sosok Pak Tua. Pak Tua bagaikan sebuah mata air yang bisa menyejukkan hati siapa saja yang  berada di dekatnya. Pengalaman Pak Tua mengelilingi hampir separuh dunia menjadikannya sebagai sosok yang kaya akan pengalaman berharga. Hanya pengalaman-pengalaman hebat dan besar lah yang membuat seorang manusia menjadi makhluk yang paling bijak. Borno dan Andi pun sering menghabiskan malam bersama Pak Tua.
Di suatu malam, sebuah kisah cinta tentang Fulan dan Fulani yang dibalut dengan latar sejarah Indonesia diceritakan oleh Pak Tua. Secara tidak langsung, kita juga digiring untuk mengingat beberapa kilasan sejarah penting di negeri ini, seperti perang di Surabaya, pemberontakan G-30S/PKI, peristiwa Malari 1974, dan krisis 1998. Penulis melalui Pak Tua membuka mata kita tentang keindahan hakiki dari sebuah kisah cinta. Pak Tua menuturkan bahwa kisah Fulan dan Fulani bukanlah cinta gombal, melainkan cinta yang diwujudkan melalui perbuatan (hal. 174).
Siapa sangka di hari pertama Borno menjadi pengemudi sepit malah menjadi hari yang paling bersejarah di hidupnya. Salah satu penumpang sepitnya saat itu adalah seorang gadis berbaju kurung kuning yang langsung membuat Borno terpesona. Gadis itu meninggalkan sebuah angpau merah. Dari sinilah kisah cinta Borno bermula.

“... Tapi aku akan membiarkan kau sendiri yang menemukan kalimat bijak itu. Kau sendiri yang akan menulis cerita hebat itu. Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan.” (hal. 175)

Borno jatuh cinta. Ia harus mengumpulkan keberanian ekstra hanya untuk menanyakan nama sang gadis. Berkali-kali ia meminta nasihat Pak Tua. Tak jarang, ia meminta saran pada Andi. Bahkan, Bang Togar memberikan tips kencan secara cuma-cuma. Saat Borno tahu bahwa gadis itu bernama Mei, ia malah membuatnya tersinggung. Kunjungan ke Surabaya dan Kuching pun semakin melekatkan bayangan Mei di pikiran Borno.
Novel yang memiliki versi asli cerita lebih panjang dengan judul Kau, Aku, dan Kota Kita ini memiliki tokoh-tokoh sederhana dengan lika-liku kehidupannya masing-masing. Penulis seperti mengajak kita untuk menebak-nebak masa lalu Pak Tua yang hingga kini malah memutuskan untuk membujang dan menetap kembali di Pontianak. Penulis pun membawa kita ikut menyibak kisah cinta Bang Togar yang cukup mengharukan. Tak lupa, perjuangan Borno untuk mencari kejelasan perasaan dan kenyaatan pada Mei.

“Maafkan aku, Abang. Kita hanya akan saling menyakiti jika terus bertemu. Aku sungguh tidak mau membuat Abang sedih.” (hal. 470)

Membuka halaman demi halaman novel ini semakin membawa kita melihat rona indah kehidupan di sepanjang Sungai Kapuas. Penduduk Pontianak yang berasal dari Melayu, Dayak, dan Cina bisa hidup damai berdampingan dengan hadirnya tokoh Koh Acong, Cik Tulani, Pak Tua, dan Bang Togar. Jika kita disuguhi pemandangan tepian Kapuas dengan meminjam kacamata penulis, kita akan disuguhi banyak hal yang bisa membuat kita tergelak. Saat pagi tiba, kita bisa melihat Pak Sihol kesal saat sabunnya hanyut karena laju sepit yang dikemudikan Borno; dermaga kayu yang dijajari sepit yang menunggu giliran; teriakan petugas timer; gerakan senam pagi yang dipimpin oleh Bang Togar dengan iringan musik SKJ; keriuhan yang semakin memanas di lomba balap sepit; hingga melihat Borno mengemudikan sepitnya dengan lambat mengantar Mei selama 15 menit membelah Sungai Kapuas setiap paginya.
Jika malam tiba, kita bisa seolah ikut asyik menyantap gulai kepala kakap bersama Borno dan Pak Tua sembari menatap malam yang indah di tepian Kapuas. Dengan diterangi cahaya bulan di malam ketiga belas, penulis seperti menyulap kita menjadi sosok anonim yang ikut duduk mendengar kisah-kisah tentang cinta dan kehidupan yang dituturkan oleh Pak Tua. Menurut Pak Tua, cinta sejati adalah perjalanan yang tak memiliki ujung seperti siklus air. Ia berkata bahwa Sungai Kapuas jauh lebih abadi dibanding sebuah kisah cinta gombal manusia. Jarak dan waktu bisa langsung memutuskan sebuah kisah cinta gombal. Sebaliknya, selama ribuan tahun Sungai Kapuas masih tetap berada di Pontianak meskipun airnya semakin keruh (hal. 168).
Meskipun novel ini membahas tentang romantisme di tepian Kapuas, penulis juga menyelipkan beberapa hal agar kita lebih peduli dengan kelangsungan hidup di Sungai Kapuas melalui narasi dan dialognya. Seperti, demo soal lingkungan hidup (hal. 22), pendangkalan sungai (hal. 244), dan illegal loging (hal. 177). Topik-topik tersebut dihadirkan secara singkat dengan tetap menjadi pelengkap alur cerita yang manis.
Borno memang pantas dijuluki sebagai pemuda dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas. Meskipun ia dibuat kalut dengan sebuah perasaan yang diawali oleh sepucuk angpau merah itu, ia merasa sudah sangat beruntung memiliki Andi, Bang Togar, Cik Tulani, Koh Acong, dan yang sudah dianggapnya sebagai bapak sendiri, Pak Tua (hal. 478). Masa lalu dan masa kini juga saling mengait di kehidupannya terlebih saat Sarah hadir di dalamnya. Kehidupannya sederhana. Ia seorang pemuda biasa—lulusan SMA, pengemudi sepit hingga menjadi montir—yang dibuat galau karena cinta. Namun, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari caranya menerima, menghadapi, dan menjalani hidup di tepian Sungai Kapuas. Tere Liye memang selalu berhasil mengeluarkan kilau dari sebuah mutiara kesederhanaan di setiap kisah yang ditulisnya, termasuk dalam Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.

*resensi ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba menulis resensi Gramedia Pustaka Utama. pertama kalinya nulis resensi secara "serius" dan panjang, it's kinda fun :)