Minggu, Mei 20, 2012

Meresapi Malam

Hari Kamis lalu, seorang sahabat menjemputku. Kami langsung pergi menuju ke rumah satu sahabat kami yang, katanya, kesepian di rumah. Padahal seminggu sebelumnya kami sudah menjenguknya. Ya sudahlah, mumpung lagi ada waktu luang juga. Kami sampai di rumahnya pukul setengah tujuh malam. Makan bakso. Mengobrol. Bercanda. Mengobrol. Sampai pukul setengah sepuluh malam.

Sepulangnya, aku dan sahabatku ini mampir ke Indomaret. Beli pulsa (sudah 10 hari hape tak berpulsa, heu) dan beli es krim. Jadi inget, selama hampir 6 bulan lamanya aku sering menyantap es krim. Sampai kadang ingin selalu mencicipi es krim yang belum pernah kucoba.

Sepeda motor diarahkan ke alun-alun Batu. Malam hari dan juga hari libur, alun-alun pun ramai oleh pengunjung. Kebanyakan memang anak-anak muda. Sahabatku langsung menepikan sepeda motornya. Kami duduk di bantalan trotoar, kemudian makan es krim.

Banyak hal yang diceritakan. Namun, aku lebih banyak mengalihkan perhatianku pada es krim yang kumakan. Hal-hal yang kami bicarakan tak jauh dari betapa banyak hal yang berubah selama beberapa tahun terakhir ini. Tiga sahabat kami sudah menikah. Salah satunya sudah mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Dua yang lainnya kini sedang menanti buah hati pertama mereka.

Satu lagi sahabat kami kabarnya akan juga segera melangsungkan pernikahan. Satu yang lainnya akan segera dilamar. Dan satu lagi sedang bimbang memilih diantara dua pilihan. Ah, kenapa pembicaraan seperti ini selalu membuat perasaanku jadi aneh.

Kami menghabiskan es krim itu dengan sesekali mengomentari anak-anak muda yang bersliweran. Dulu sewaktu masih SMP-SMA, kami sering main ke alun-alun sepulang sekolah. Alun-alun Batu sekarang jauh lebih cantik dan pastinya makin ramai. Sejak alun-alun yang baru ini diresmikan, satu keinginanku: naik Bianglala, belum pernah terealisasikan.

Alun-alun Batu (sumber dari sini)

Pengen naik Bianglala... (sumber dari sini)

Malam-malam di Batu, dingin. Kami malah makan es krim. Sekitar pukul 22.15, aku diantar pulang sampai rumah. Sudah cukup lelah. Namun, aku sempat tidak bisa langsung tertidur. Teringat kembali bayangan-bayangan waktu. Banyak hal yang berlalu. Sudah ratusan malam yang terlepas. Sudah berapa helaan nafas yang terlewat begitu saja?

Minggu, Mei 13, 2012

Prestasi

Tiba-tiba saja aku menanyakan pertanyaan ini pada diriku sendiri: kapan terakhir kalinya aku berprestasi?
Baru-baru ini? Atau lama-lama sekali?

Pause.

Waktu SD hingga SMP, aku pikir yang namanya prestasi adalah saat bisa mendapat ranking di kelas. Saat itu rasanya cukup buatku untuk selalu berada di peringkat atas di kelas--dengan satu kali pengalaman menjadi 10 siswa terbaik sewaktu di SMP. Saat di SMA, aku mulai tidak mempedulikan peringkat. Apalagi saat di SMA tidak diberlakukan lagi peringkat atau ranking di kelas. Akibatnya, aku semakin santai saat mengikuti pelajaran di sekolah. Masuk jurusan IPA pun rasanya saat itu hanya agar bisa lebih keren. Syukurlah saat itu aku sempat (sedikit) aktif pada ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja.

Kadang aku merasa "bangga" hanya menghabiskan waktu satu tahun saja saat di TK sedangkan beberapa temanku yang lain menghabiskan waktu dua tahun di bangku TK. Hehe, sempat merasa bangga. Namun, itu tak bertahan lama saat aku mengenal ada seorang teman yang ternyata dia dulu langsung masuk SD tanpa TK.

Sewaktu kuliah? Hmm, IP biasa-biasa saja. Keorganisasian? Hanya lebih banyak aji mumpung. Sekali dua kali ikut forum pemuda. Namun, saat itu hanya dengan alasan ikut-ikutan saja. Prestasi lainnya?
Tidak ada.
Belum.

Jadi?

Prestasi. Sebegitu penting kah?
Bagiku, itu sangat penting. Bukan hanya tentang hadiah atau piala, tetapi lebih kepada bukti eksistensi diri. Berkarya. Menjadi seseorang yang bermanfaat. Bukan menjadi seseorang yang "bukan siapa-siapa".

Teringat seminggu yang lalu, sekitar pukul setengah tiga dini hari, aku menatap hamparan lautan pasir yang sangat gelap. Melihat ke langit. Hanya ada beberapa noktah kerlip bintang. Merasa sangat kecil, tak berarti apa-apa. Mencari tahu apa yang paling aku inginkan dan mewujudkannya. Merasuki bayang diri, mencari tahu apa yang sudah kulakukan selama ini. Bagaimana jika ini hari terakhirku melihat cahaya?

be 'something'. create things.



Senin, Mei 07, 2012

Bromo Kali Ini: Belajar Mengambil Makna

Tulisan sebelumnya di SINI.

Pukul setengah 4 pagi kami semua berangkat menuju Penanjakan. Sempat terhambat karena ada salah satu pengendara yang membeli bensin. Ah, bikin jengkel saja. Menunggu dan menunggu.

Lautan Pasir
Kami menuruni jalan yang cukup curam sebelum mencapai Lautan Pasir. Benar-benar harus berhati-hari karena harus bisa menjaga keseimbangan dengan baik. Sesekali memang harus agak ngotot dan dipacu dengan cepat agar tidak terjebak ke dalam pasir. Baru saja lolos dari perjuangan melewati Lautan Pasir, kami pun mulai mengikuti jalan menanjak yang juga sama menantangnya.

Jalan, Berhenti, Jalan Lagi
Sepeda motor Andik tidak bisa melewati tanjakan dengan mulus. Terpaksa aku harus turun dan berjalan. Kupikir jalannya tidak terlalu menanjak. Ternyata, baru beberapa langkah, aku sudah kehabisan nafas. Oke, ini juga efek karena tidak pernah berolahraga dan juga kelelahan ditambah tidak tidur semalaman.

Aku harus sering berhenti untuk kembali mengatur nafasku. Andik sudah hilang dari pandanganku. Sesekali harus melipir karena ada jeep atau sepeda motor yang lewat. Ada yang menyerah dan turun karena tidak kuat melewati jalan menanjak. Di sebuah titik, aku benar-benar sendirian. Sepi. Tidak ada penerangan. Tidak ada siapa-siapa. Yang bisa kulihat hanya kegelapan. Kelelahan.

Ingin berhenti dan berbalik turun. Tapi aku sudah telanjur berjalan, belum lagi ditunggu oleh Andik, Miftah, dan Nina di atas sana. Rasanya sudah tidak kuat untuk terus melangkah. Sekali lagi aku berhenti. Bersandar pada sebuah pembatas jalan. Berkali-kali dilewati jeep dan sepeda motor.

Aku sempat melihat beberapa teman yang lain bergandengan dan saling menyemangati untuk bisa terus jalan hingga ke atas. Ada yang menawariku minum air putih saat sedang berhenti mengambil nafas. Jujur ingin berhenti saja. Satu langkah lagi.

Mungkin seperti inilah yang namanya perjuangan. Kadang ada rasa pesimis untuk bisa melanjutkannya. Kadang sudah benar-benar ingin berhenti. Lelah. Tidak bisa bernafas. Kadang terasa ditinggalkan seorang diri. Kesepian. Saat tak ada lagi yang bisa membantu, hanya diri kita sendiri yang bisa menghidupkan semangat kita. Satu langkah lagi. Tak apa berhenti sesekali. Namun, terus melangkah ke depan.

Haish, gimana bisa mendaki Semeru kalau gampang lelah seperti ini. Sepertinya aku memang harus lebih banyak berolahraga. Di sebuah belokan, ada dua sepeda motor yang terguling. Pengendara dan orang yang diboncengnya sama-sama jatuh. Sepertinya mereka ada dalam satu rombongan denganku. Teman-teman yang lain langsung merubungi dan membantu. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa karena masih kerepotan mengatur nafasku sendiri.

Miftah sempat turun lagi dan memboncengku ke atas. Andik dan Nina juga sudah di atas. Meskipun Andik sempat menjadi orang yang menyebalkan, jadi tidak enak juga karena dia sudah bersusah payah menuntun sepeda motor dan membiarkanku menaiki sepedanya walaupun hanya beberapa saat (takut nanti ngglundung ke bawah). Setidaknya mereka masih bersabar menungguku yang berjalan sangat lambat dan harus bolak-balik mengambil nafas.

Berada dekat dengan orang-orang yang selalu ada untuk kita menjadi sebuah hal berharga yang patut untuk disyukuri. Setidaknya ada orang yang akan membantu kita bangun saat terjatuh. Memberi semangat dan bersabar menunggu kita untuk berhasil.

Matahari Terbit
Kami masih belum sampai puncak. Gerimis datang. Kami semua berhenti pada sebuah tempat. Sambil menunggu beberapa kawan lainnya, kami melihat matahari yang perlahan beranjak naik. Meskipun terhalang kabut, aku merasa bersyukur bisa melihatnya. Tak ada satu kata pun yang kuucapkan. Aku memisahkan diri dari teman-teman yang lain. Entahlah, hanya ingin mengambil sebuah ruang tersendiri.

Sekitar pukul 5.15, kami melanjutkan perjalanan menuju ke atas. Kali ini tanjakannya agak bersahabat jadi perjalanan bisa berjalan cukup lancar. Sampailah kami pada sebuah tempat dekat dengan bukit yang menyediakan sebuah ruang dan pemandangan cantik. Meskipun matahari sudah meninggi, alhamdulillah kami masih bisa berkesempatan menikmati pemandangan yang tersaji saat itu.

semburat jingga di atas sini

bayang kabut

masih berkabut

ingin ke Semeru suatu saat nanti :)

masih jingga berbaur dengan biru dan putih

seeking the ambience

which angle did you take?

sunrise yang terlambat, tak apa

Ada sebuah bukit yang bisa didaki. Dengan posisi yang lebih tinggi kami bisa melihat pemandangan yang lebih lapang. Saat itu tiba-tiba ada yang memanggilku. Suara Fitri. Akhirnya, kami bertemu kembali setelah terpisah dari rombongan. Rupanya dia mengambil jalur yang berbeda. Syukurlah masih bisa bertemu lagi.

di atas bukit


bertemu kembali

Sempat berfoto bersama teman-teman lain (diantara mereka semua, hanya 5 orang yang kukenal, heu). Setelah puas berfoto-foto, sempat ada rencana untuk lanjut ke Air Terjun Mardakari Pura. Tapi, batal. Hiks, padahal aku pengen banget bisa ke sana. Huhu. Akhirnya sebagian besar memutuskan untuk pulang. Banyak yang kelelahan, termasuk aku juga yang tidak tidur semalaman.

dari semua itu, mana yg kukenal?
Kami berenam (aku, Fitri, Sani, Andik, Miftah, dan Nina) memutuskan untuk ke Kawah Bromo. Kami turun lagi ke Lautan Pasir. Saat itu aku baru tahu alasan kenapa aku bisa begitu kelelahan saat berjalan mendaki. Rupanya tanjakannya cukup curam, sepertinya sekitar 50-60 derajat, entahlah, aku tak tahu pastinya. Hmm, jika semalam aku bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa tanjakannya mungkin aku tak akan mau berjalan kaki.

Kadang kita hanya harus mencoba dan menjalaninya. Itu saja.

kaki yang akan terus melangkah

jalur awal Penanjakan

Sempat terlihat bunga edelweis di sepanjang jalan. Ingin memetik, tapi cukup diambil fotonya saja.

edelweis...edelweis...

Tadinya kami berencana untuk ke Kawah Bromo. Namun, aku sendiri sudah kelelahan dan beberapa teman lain juga ada yang tidak mau naik. Akhirnya, batal lah rencana untuk ke Kawah Bromo. Kami hanya menghabiskan waktu di sekitaran Gunung Batok dan Lautan Pasir.
memotret yg sedang (saling) memotret

yang sarapan...yang sarapan

kelelahan, tidur beralas jas hujan

kuda-1

kuda-2

eh, bukan kuda

kuda-3

Sebagian orang rela bersusah payah untuk menyaksikan keindahan matahari terbit. Orang yang mendaki gunung mungkin tak akan puas sebelum bisa menyaksikan matahari terbit di puncaknya. Ada juga yang rela berpeluh hanya untuk bisa mengejar waktu yang tepat menyaksikan keindahan matahari terbit. Kita semua bisa menyaksikan matahari terbit di mana saja. Namun, kadang kita rela untuk bekerja keras untuk melihat matahari terbit di tempat tertentu. Matahari itu masih satu dan sama. Kenapa kita rela bekerja keras untuk pergi ke tempat yang tinggi itu?

Kita terlahir dengan bekal yang sama. Namun, beberapa diantara kita bisa bersinar di sebuah "ruang" tertentu. Beberapa diantara kita tahu di mana kita seharusnya berada sehingga banyak orang yang mengagumi kita, banyak orang yang rela bersusah payah untuk melihat keanggunan kita. Kita masih manusia yang sama, terlahir dengan pencipta yang sama. Namun, diri kita sendiri lah yang bisa memutuskan di mana kita bisa memberi manfaat bagi orang lain. Memberikan sinar dan cahaya terbaik kita.

Sekitar pukul setengah 10, kami langsung pulang kembali ke Malang. Rasa lelah sudah tak tertahankan lagi. Salah satu penyebabnya adalah tidak tidur semalaman. Aku sendiri masih ngeri melihat cara Andik menyetir sepeda motor. Aku melihat Fitri yang dibonceng Sani tampak terantuk-antuk. Mata memerah. Capek tiada tara, hoahm! Tapi, tetep ngebut jaya!

Beristirahat sebentar di Pasuruan untuk membeli seporsi mie ayam dan segelas es jeruk dengan membayar 5 ribu rupiah per orang. Setelah itu langsung ngebut sampai Malang. Jam 2 siang aku sampai rumah. Langsung mandi, shalat zuhur, dan tidur, sempet bangun lagi jam 5. Habis shalat isya' langsung terkapar membayar jatah malam sebelumnya yang tidak sempat tidur semenit pun.

Meskipun melelahkan, aku banyak belajar dari ikut rombongan ini. Saling bahu membahu (meski kadang masih juga saling memaki kalau kesal), tidak meninggalkan satu orang pun (meskipun sempet ada yang nyasar), dan kebersamaan. Namun, buatku cukup. Lain kali kalau ke Bromo lagi, aku ingin bersama dengan orang-orang menyenangkan yang kukenal dan tidak dengan rombongan yang terlalu banyak, hehe.

Kecelakaan
Aku sempat ngeri dengan cara Andik menyetir. Terkesan nekat dan ngebut. Sempat terbayang bagaimana nanti kalau kecelakaan. Huhu, aku emang takut mati tapi lebih takut lagi kalau mati di saat dan tempat yang tidak tepat. Khusnul khotimah masih menjadi cita-cita terbesarku.
Semalaman tidak tidur membuat kami semua kelelahan. Aku sendiri mewanti-wanti yang lain kalau butuh istirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah aku sampai di rumah dengan selamat aku merasa lega. Namun, sore harinya pukul 4 sore aku mendapat sms dari Fitri, "Aq kecelakaan." Saat itu aku tidak langsung membalasnya, karena kupikir dia hanya terjatuh seperti yang sudah-sudah. Kucoba untuk langsung membalas smsnya, eh pulsaku habis.
Namun, pagi tadi saat aku online Facebook, dia mengabariku kalau kakinya robek dan harus dijahit. Sepeda motornya hancur. Sore hari setelah dari Bromo dia memang langsung berangkat lagi untuk memberi les privat. Dia tidak ingat kronologis kejadian. Dia hanya mengingat kalau dia kelelahan, menabrak pohon, sepeda motornya masuk ke selokan, kemudian dia terlempar. Hiks, aku jadi sedih dan ngeri sendiri membayangkannya. Ingin langsung menjenguknya tapi aku masih harus menyelesaikan pekerjaan di rumah. Get well soon, my dear friend...

Kadang kita memang harus sedikit memberi ruang dan jeda untuk beristirahat.


Bromo Kali Ini (1 of 2)


Prolog Singkat
Bulan Januari 2010 adalah pertama kalinya aku ke Bromo. Saat itu membekas sebuah pengalaman yang sangat berkesan bersama teman-teman yang menyenangkan. Saat itu pula aku merasa suatu saat nanti aku pasti akan kembali ke Bromo. Hingga datanglah kesempatan untuk yang kedua kalinya pada tanggal 5 Mei kemarin.

Fitri diajak Sani untuk ikut teman-teman SMKnya yang mengadakan reuni ke Bromo. Fitri pun mengajakku (karena kita partner mbolang sejak beberapa tahun lalu, hehe). Yaps, siapa yang mau menolak. Aku pun langsung ikut. Dia bilang bakal ada sekitar 30 orang teman Sani yang ikut. Dari Malang sendiri ada 6 orang yang akan ikut (aku, Fitri, Sani, Miftah, Nina, dan Andik).

Perjalanan Dimulai
Sekitar jam 6 sore, kami berangkat dari Malang menuju Bangil. Kenapa ke Bangil? Karena teman-teman Sani semua berasal dari kota itu dan berkumpul di alun-alun Bangil. Berhenti sebentar untuk shalat maghrib-isya' dan tiba di Bangil sekitar jam setengah 8. Makan malam dahulu dengan sepiring nasi goreng di salah satu warung dekat alun-alun. Kemudian, menunggu semua teman yang akan berangkat ke Bromo. Hawa di Bangil sangat panas (menurutku yang sudah terbiasa dengan hawa dingin di Batu) padahal saat itu sudah cukup larut malam.

Briefing sebentar dan berdoa sebelum berangkat. Sekitar pukul 10 perjalanan pun dimulai.

Serasa Jadi Anggota Geng Motor
Saat itu ada sekitar 30 orang, jadi perkiraan ada sekitar 15 sepeda motor. Ada pemandu jalan dan yang mengatur kita dalam satu barisan selama di jalan. Melihat banyaknya sepeda motor yang berjalan beriringan seperti ini jadi membuatku merasa ikut bagian dalam salah satu geng motor yang akan menyerbu geng lain. Haha, efek terlalu banyak menonton berita tentang aksi brutal geng motor nih.

Di tengah perjalanan, ban belakang salah satu sepeda motor bocor. Serentak semuanya berhenti dan menunggu ban tersebut ditambal. Kami pun duduk-duduk di dekat sebuah masjid yang ada di pinggir jalan. Saat itulah aku baru tahu kalau Sani dan Fitri tidak bersama kami. Aku coba untuk menghubungi mereka tetapi tak tersambung. Ada apa dengan mereka?

Setengah jam kemudian perjalanan dilanjutkan. Dari Bangil melewati Pasuruan kemudian ke Probolinggo. Agak was-was juga karena harus selalu berada dalam satu barisan agar tidak ada yang tertinggal. Beberapa kali harus ngebut dan menyalip kendaraan-kendaraan besar. Hadoh, ngeri juga dibonceng sama Andik.

Memasuki Probolinggo
Aku kurang tahu saat itu melewati jalan apa. Yang pasti kami berbelok ke sebuah gang di Probolinggo dan melewati jalan berkelak-kelok. Aku sangat ingat jalan ini karena saat ke Bromo 2 tahun yang lalu, aku juga melewati jalan ini hanya saja saat itu masih sore dan terang. Namun, hari Sabtu lalu kami melewati jalan itu menembus kegelapan malam.

Satu per satu sepeda motor berjalan beriringan berusaha untuk tetap berada di dalam satu rombongan. Aku masih mencoba untuk menghubungi Fitri dan Sani yang terpisah dari rombongan, tapi nihil. Sekitar jam setengah 12 hujan deras, kami semua berteduh di sebuah pom bensin.

Ngantuk, pasti. Dingin, lumayan. Menunggu hingga hujan reda. Jam 12 pun perjalanan dilanjutkan.

Hanya Gelap
Di tengah gerimis, kami semua masih beriringan untuk menuju Cemorolawang. Jalanan licin dan berlumpur. Kalau tidak berhati-hati bisa berakibat fatal. Saat melewati sebuah jalan berlumpur, sepeda motor yang berada tepat di belakangku (Miftah dan Nina) tergelincir. Mereka terjatuh. Serentak, semuanya berhenti. Beberapa detik kemudian, satu-satunya lampu jalan yang menyala saat itu langsung mati. Eh?

Setelah yakin tidak ada yang terluka parah, perjalanan dilanjutkan. Aku semakin deg-degan.
Andik tampaknya seorang pengendara yang suka ngebut dan bisa dibilang agak nekat. Aku sudah ketar-ketir kalau bakal jatuh. Saat melewati sebuah jalan berbelok yang berlumpur, semua pengendara sepeda motor memperlambat lajunya. Aku malah seperti menahan nafasku sendiri. Seolah-olah aku akan terjatuh begitu aku menghembuskan nafasku. Oke, mungkin berlebihan.

Melewati jalan gelap. Tampak di sebelah kanan dan kiriku lereng-lereng tebing yang gelap. Seolah membatasi ruang tempatku berada saat itu.

Rumah-Rumah Hantu
Seperti tak berpenghuni.
Malam itu semua lampu padam. Rumah-rumah yang kami lewati dalam keadaan gelap gulita. Kalau diperhatikan, rumah-rumah itu tampak menyeramkan. Seolah kami  melewati sebuah perkampungan yang baru saja ditinggal mengungsi oleh semua penduduknya. Sepi. Yang terdengar hanyalah raungan sepeda motor kami. Sesekali kami melambat. Sesekali berhenti. Saling menjaga jarak di tengah kegelapan. Hingga beberapa menit kemudian, kabut mulai turun.

Jarak pandang semakin terbatas. Semakin lama aku tak bisa melihat lampu sepeda motor yang ada di depan. Andik pun kehilangan jejak sepeda motor yang ada di depan. Akhirnya, kami berhenti. Di belakang masih ada empat sepeda motor. Kami semua tak tahu harus berbelok ke mana. Andik malah mau berbelok ke rumah penduduk, gara-gara kabut dan tak ada penerangan untuk membantunya melihat dengan jelas.

Syukurlah, ada seseorang yang masih bisa dihubungi dan memberi arahan ke mana kami harus berbelok. Sekitar pukul setengah 2, kami sampi di pintu masuk di Cemorolawang. Tiket masuk untuk satu sepeda motor dengan dua orang adalah 16.000 rupiah. Hawa dingin semakin merasuk. Aku langsung mengambil sweater dan mengenakannya sebagai dobelan dari jaket yang kupakai. Tak lupa sarung tangan dan pashmina.

Fitri memberi kabar lewat sms. Syukurlah dia baik-baik saja hanya saja kesasar. Kesasar dalam artian terpisah dari rombongan. Dia hanya bersama Sani dan seorang kawan Sani saja menuju Wonokitri (kalau tidak salah) yang letaknya berseberangan dengan Cemorolawang. Syukurlah dia baik-baik saja. Aku tadinya sudah membayangkan kalau dia kecelakaan atau terluka.

Cemorolawang
Rencananya kami baru akan ke Penanjakan pukul setengah 4. Masih ada beberapa jam sebelumnya. Ada yang menyalakan api unggun, membakar jagung, tidur-tiduran di atas terpal, ada juga yang sedang memotret.

Dari semua orang yang ada, hanya ada 2 orang yang kukenal sudah cukup dekat yaitu Fitri dan Sani. Sayangnya, saat itu mereka terpisah dari rombongan. Jadilah aku hanya melamun sendirian. Hmm, ada juga Andik, Miftah, dan Nina. Namun, aku baru mengenal mereka juga sesaat sebelum berangkat ke Bromo.

Andik memesan semangkok bakso yang dilanjutkan dengan ngemil sebungkus mie instan mentah. Sesekali kami mengobrol bersama Miftah dan Nina. Sempat juga mengobrol dengan bapak tukang bakso. Beliau menceritakan saat Bromo sempat tidak boleh dikunjungi beberapa bulan lalu.

Ada sebuah sekolah yang rusak total akibat debu tebal yang menumpuk hingga satu meter. Sempat juga ada  bule yang ngeyel  buat menghampiri kawah padahal saat itu sedang dalam kondisi bahaya. Tangga untuk naik ke Kawah Bromo sudah diperbaiki, kata beliau ada 250 anak tangga di sana. Juga, seringnya dipakai sebagai tempat syuting film, iklan, dsb. Beliau sendiri sempat ikut dalam sebuah iklan yang mengharuskannya bersama ratusan orang lain memakai celana pendek berlarian di padang pasir pukul 2 dini hari, wew!

Aku sendiri penasaran dengan upacara Kasada. Ternyata emang diadakan setiap pertengahan bulan Ramadhan, saat bulan purnama. Melemparkan sesaji ke dalam kawah dan pastinya banyak sekali pengunjung yang datang.

Sesekali aku ikut menghangatkan badan di dekat api unggun. Beberapa menit lamanya aku memandang kegelapan yang menyelimuti lautan pasir, gunung batok, dan kawah bromo. Terlihat juga titik-titik lampu dari kendaraan yang melewati lautan pasir menuju Penanjakan. Saat melihat ke bawah, lautan pasir yang masih diselimuti kabut tampak seperti hamparan ruang tanpa batas.



Gunung Batok dan Kawah Bromo sekitar pukul 2.30 dini hari

Pukul setengah 4, kami semua bersiap menuju Penanjakan dan melewati Lautan Pasir.

(bersambung)