Senin, September 26, 2011

Updating My Life

Wah, udah lama nggak nggedabrus  di blog hihihi. Sibuk? Banyak pekerjaan? Hmm, lebih tepatnya karena sedang berusaha menemukan ritme di lingkungan yang baru di sini.


Beberapa kabar (nggak) penting dari saya kali ini adalah:
10 September 2011
Berangkat ke Bandung dengan tiket kereta yang mahal abis! Hanya bawa satu backpack yang dipenuhi dengan baju dan perbekalan sementara.

11 September 2011
Sampai di kamar kost untuk pertama kali. Karena kamarku masih  belum jadi, untuk sementara aku tinggal di kamar kost cowok (iya, ini ada kamar kost cowok sama cewek tapi bener-bener dipisah jadi kemungkinan cewek sama cowok berpapasan itu hampir nol persen). Penghuni sesungguhnya dari kamar kost sementara yang aku tempati waktu itu masih akan datang bulan depan. 

12 September 2011
Wawancara dengan pihak HRD, ya sedikit wawancara dan kepastian gaji hehe.

13 September 2011
Masuk kantor untuk pertama kali. Berasa jadi kayak alien yang baru turun ke bumi, asing. Di mana-mana orang berbahasa Sunda, aku? Bengong! Dikenalin ke orang-orang kantor dan dalam waktu 5 detik, aku sudah lupa nama-nama mereka semua. 

14 September 2011
Udah kena marah, hihi maklum saya orang baru jadi nggak ngerti apa-apa. Ngurus ijin libur dua hari buat wisuda. Sorenya langsung cabut ke stasiun dan balik ke Malang dengan naik tiga  kali kereta ekonomi (total biayanya 52 ribu saja), ntar deh kayaknya ada posting khusus yang membahas perjalananku kali ini.

15 September 2011
Nyampe Malang udah isya’, rasanya? Awakku remek, rek!

16 September 2011
Ke kampus ikut gladi bersih, makan bareng temen-temen kuliah di Food Court Matos (entah kapan bisa kumpul lagi kayak waktu itu). Pinjem kebaya temen. Menikmati waktu di rumah.


17 September 2011
Wisuda! Yiaaay!!! Nggak ke salon dan merias diri sendiri untuk pertama kalinya, hahaiy lumayan lah buat pemula. Ada momen yang ternyata bikin aku sukses nangis di sini, tentang ibu…bapak…dan diriku sendiri. Melankolis banget wes. Sepulang wisuda langsung ngebut pulang dan ke stasiun kereta, fiuh…Alhamdulillah masih kebagian tiket yang saat itu hanya tersisa 2 tiket saja. 



 
My Wonderful Heroes




















18 September 2011
Balik ke kost-an (kali ini udah nggak pakai nyasar-nyasar lagi kayak seminggu sebelumnya, hehe). Bawa satu backpack dan satu handbag, cukup lah buat beberapa potong baju selama di sini. Istirahat sepanjang masa eh hari Minggu…

19-23 September 2011
Belajar mengikuti ritme kerja di kantor from eight to five. Biasanya pulang dari kantor, langsung mandi, shalat sampe isya’, sedikit nulis kegiatan harian sambil ndengerin lagu, trus tidur wes. 

24 September 2011
Hahaiy, baru 2 minggu kerja udah bisa ikutan kegiatan Annual Party nih. Ada acara kantor yang diadakan di Dago Tea House. Lumayan bisa sedikit bersosialisasi dengan yang lain.
Sorenya, ke kost-an temen trus diajakin ke Braga Festival. Kota Bandung lagi ulang tahun yang ke-201. Wah, ini sih agak mirip sama Malang Tempo Doeloe. Bedanya kalau di Bandung tuh ada di sepanjang jalan Braga sedangkan di Malang ada di sepanjang jalan Ijen.

 

25 September 2011
Semaleman ngobrol sama temen (dia dulu temen SMP-SMA yang lanjut kuliah di Bandung), senang rasanya bisa ngomong Jowo sama dia, lidah ini masih bimbang mengikuti bahasa Sunda hiks. Habis sarapan, jalan sendirian ke pasar Minggu Gasibu, cari beberapa barang keperluan.
Siangnya pulang ke kost-an, yiaay…lumayan nggak nyasar lagi kali ini hehe. Capek juga, ngantuk pisan!

Overall, semingguan ini emang cukup berat buatku. Berusaha mencari ritme keseharianku, bismillah semoga masih tetap bisa istiqomah…
Kayak katanya Syahrini, “Alhamdulillah ya, sesuatu banget…” Alhamdulillah…aku diberi kesempatan untuk bisa hijrah ke Bandung selama 6 bulan ke depan (soalnya kerjanya kontrak sampe 6 bulan, hehe).

Minggu, September 25, 2011

From Eight to Five

Aih, baru bisa merasakan betapa bahagianya berada di hari Jumat (dan sekarang udah di hari Senin lagi). Hmm, dan ini masih akan berlangsung beberapa minggu lagi. Oke, it's (just) from eight to five...no problemo...

Minggu, September 18, 2011

Melihat Kesendirian

Sudah malam. Mata sudah sangat lelah. Lingkaran hitam sudah mewarnai kantung mata. Ingin segera terlelap. Sudah ada amanah yang harus dikerjakan besok. Hanya saja, godaan untuk menulis kali ini lebih kuat.

Untuk pertama kalinya aku ngeblog dari dalam kamar kost sebagai anak kost. Rasanya? masih belum terbiasa. Jika biasanya saat tiba di rumah, masakan ibu sudah siap di meja, kini kalau lapar harus keluar membeli makanan sendiri. Jika tiap malam sering berargumen dengan adik saat menonton televisi, kini aku bahkan tak berkesempatan untuk menonton televisi karena memang  tidak ada televisi di kamar kost.

Bosan. Sepi.

Sesekali masih berkirim sms ke para sahabat. Membagikan semua kesendirian yang ada di sini. Masih merasa asing dengan sebuah dunia yang dulu kudambakan. Iya, inilah yang memang aku pinta pada-Nya. Dia pun mengabulkannya. Tampaknya aku memang harus menempa diriku dengan lebih maksimal. Itulah kenapa Allah mengabulkan permintaanku.

Saat aku mencoba melihat kesendirian, yang kulihat hanya sebuah bayang samar. Tidak. Tidak ada kesendirian. Tidak tampak kesendirian. Hanya sebuah bayang samar. Bayang yang sedang menutupi sesuatu, sesuatu yang jauh lebih indah dan berwarna.

[wah, lumayan nih dari dalam kamar kost bisa connect ke hotspot jadi bisa sering on-line]

Rabu, September 07, 2011

Indonesia dan Bahasa Daerah*

Suatu sore pada pukul 15.00 dari Stasiun Kota Baru Malang, Kereta Matarmaja yang saya tumpangi menuju Jakarta baru saja melaju.

Sewuan, sewuan…,” seru seorang pedagang makanan menjajakan makanannya.
Saat kereta terus melaju ke arah barat, keesokan harinya…
Saribuan, saribuan…,” pedagang yang lain juga tampak semangat menawarkan dagangannya kepada para penumpang kereta.
Sewuan, saribu, dua kata yang berbeda tetapi memiliki sebuah arti yang sama: seribuan. Pedagang yang berbeda dari dua suku yang berbeda (Jawa dan Sunda) sama-sama menjemput rejeki dengan menjual makanan ringan seharga seribu per satuannya. Mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing dalam ‘mempromosikan’ dagangannya.

Di kesempatan yang lain, saat saya baru saja tiba di Bandung, saya merasakan roaming. Orang-orang di sekitar saya menggunakan bahasa Sunda yang sama sekali tidak familiar di telinga saya. Jika biasanya saya disapa dengan panggilan Mbak, kini disapa dengan panggilan Neng. Agak kikuk rasanya, tapi ya mau bagaimana lagi.

Saat saya berkunjung ke Universitas Negeri Jakarta, saya jarang sekali mendengar adanya percakapan dalam bahasa Jawa. Hal ini tentu berbeda sekali dengan yang sering saya dengar di kampus saya, Universitas Negeri Malang, di mana sebagian besar mahasiswanya menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Tentu saja berbeda, ya, hehe. 

Saya pernah disangka oleh seorang kawan bahwa saya ini orang  Surabaya, ya sebenarnya tidak terlalu meleset juga karena saya asli Malang (cukup 2 jam jaraknya dari Surabaya jika ditempuh dengan bus patas). Tampaknya kawan saya itu menebaknya dengan cara (logat) bicara saya. Ah, belum tahu dia jika di Malang ada juga boso walikan. Setiap kata diucapkan secara terbalik. Misalnya kata “saya” berubah menjadi “ayas”, dan kata “rek” (sapaan antar sesama teman) bisa berubah menjadi “ker”. Yang paling familiar adalah kata “arek Malang” yang berubah menjadi “kera Ngalam”, huruf “e” dalam “kera” diucapkan seperti “e” dalam “bebek”.

Indonesia dengan keberagaman suku dan budayanya tak pernah lepas dari bahasa daerah yang dimiliki di wilayah masing-masing. Salah satu contohnya ada di Jawa Timur. Pulau Madura punya bahasa Madura dan menurut penjelasan seorang kawan asli Pamekasan, bahkan bahasa Madura itu pun bisa berbeda-beda tergantung daerahnya. Di kampus mudah saja menebak seorang kawan itu asli Malang atau bukan dengan mendengar bagaimana ia menyapa teman-temannya. Jika ia menyapa dengan “Rek” maka ia bisa cukup dipastikan berasal dari Malang, tetapi jika menyapa dengan “Cah” (yang berasal dari kata bocah) ada kemungkinan dia berasal dari Blitar atau Kediri.

Bahasa daerah itu sangat unik. Kita bisa menebak seseorang itu berasal darimana dengan mengetahui logat atau dialek bicaranya, seperti seorang kawan yang berasal dari Padang. Meskipun dia sedang (berusaha) bercakap-cakap dengan bahasa Jawa, tetap saja bisa ditebak bahwa dia bukan asli orang Jawa. Saat berada di sebuah forum nasional, seorang peserta pernah protes karena mendengar saya dan kawan saya yang sama-sama asli Malang sedang bercakap-cakap dalam bahasa Jawa khas Malang. “Jangan pakai bahasa planet,” sindirnya dengan nada bercanda yang dimaksudkan agar saya dan kawan saya ini menggunakan bahasa Indonesia saja dalam berkomunikasi.

Pulau Jawa meski memiliki bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, tetapi tetap saja ada perbedaan-perbedaan di tiap daerahnya. Di Jawa Timur misalnya, bahasa Suroboyoan cukup dikenal dengan penggunaan bahasa Jawa yang lebih ‘kasar’ dari bahasa Jawa di daerah lain. Bahkan seorang kawan dari Madiun pernah merasa bahwa orang Malang sudah terlalu kasar dalam berbicara, meski Madiun dan Malang sama-sama memiliki bahasa Jawa sebagai bahasa daerah. Sebuah kata dalam bahasa Jawa bisa tidak dipahami oleh orang berbahasa Jawa lainnya. Saya sempat bingung saat seorang kawan menyebut kata “panggah”, dan saya baru ngeh bahwa kata itu berarti “tetep” dalam bahasa yang saya-gunakan-sehari-hari . Panggah=tetep=tetap. Konon, semakin ke barat bahasa Jawa akan semakin halus. Bahasa Jawa arek Malang bisa dipastikan akan berbeda jika dibandingkan dengan cah Solo, misalnya. Orang Yogya mungkin akan beranggapan bahwa orang Surabaya tidak sopan karena berbicara terlalu cepat dan blak-blakan. Sebaliknya, orang Malang bisa beranggapan orang Solo terlalu ‘lamban’ hanya karena cara bicaranya yang pelan. Saya tidak bermaksud untuk mendiskriminasi salah satu pihak, hanya saja saya ingin menunjukkan betapa bahasa daerah di Indonesia itu sangat unik dan menarik untuk dikenal. Ah, saya sendiri pernah kebingungan saat diajak mengobrol dengan ibu seorang teman yang berasal dari Semarang. Entah kenapa meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa, saya sempat tidak mengerti apa yang ditanyakan oleh ibu teman saya itu. Sempat bertanya-tanya, “Kenapa saya tidak nyambung, ya?”

Keunikan bahasa daerah yang ada di Indonesia juga sering dijadikan bahan untuk melawak. Contohnya ada pada Sule salah satu pelawak di Opera van Java. Dia begitu ‘berhasil’ mengundang tawa para penonton saat ia berusaha menggunakan bahasa Jawa yang cukup terdengar ‘lucu’ di lidah Sunda-nya. Saat menggelar road show di Malang, hanya dengan dua tiga kata dalam bahasa Jawa yang diucapkannya, sontak semua orang bisa tertawa. Begitu pula saat menggelar road show di Bali atau Semarang. Bahasa daerah memang memiliki sebuah daya tarik tersendiri.

Seorang dosen di kampus saya pernah mendapat guyonan dari seorang kerabatnya. “Sudah jauh-jauh kuliah di Amerika, tapi bicara bahasa Jawa masih lancar.” Saat beliau di Amerika pun, seorang profesor pernah dengan tepat menebak bahwa dosen saya ini adalah asli orang Jawa. “Pelafalan ‘b’ dan ‘d’ yang Anda miliki lebih berat,” jelasnya saat dosen saya bertanya padanya. Sepertinya sebagian besar orang Indonesia tahu, bahwa orang Jawa memiliki kecenderungan pelafalan huruf b dan d yang lebih ‘berat’ atau istilahnya medhok. Beliau pun menjelaskan bahwa bagaimana pun bahasa ibu itu susah untuk dihilangkan.
Bahasa daerah sering terbawa saat sedang berbicara berbahasa asing. Sudah menjadi bahan candaan di kelas, bahwa ada beberapa orang yang masih berkomunikasi dengan JavLish alias Javanesse-English. Jadi ia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris tapi masih kelihatan medhok-nya. Seorang teman yang berasal dari Madura pun masih kelihatan Madura-nya saat ia sedang berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
Beberapa acara di televisi yang mengangkat wajah Indonesia dari sisi keberagaman sukunya, dapat dipastikan akan selalu ada bahasa daerah yang dimiliki di masing-masing daerah. Kalimat “Apa kabar?” mungkin memiliki ratusan padanan yang sama dalam bahasa daerah yang ada di Indonesia. Kalimat sapaan juga memiliki beragam variasi di masing-masing daerah. Tampaknya bahasa daerah itu sendiri dapat dijadikan salah satu kekayaan negeri ini.

Sebagian besar masyarakat Indonesia fasih menggunakan setidaknya dua bahasa dalam berkomunikasi, yaitu bahasa daerah atau bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bukankah itu adalah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh orang Indonesia? Sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, meski ada ratusan bahasa daerah yang dimiliki Indonesia, tetap saja kita semua adalah orang Indonesia.

Hhhm, tampaknya cukup menarik jika ada paket wisata yang mengajak para wisatawan domestik atau luar negeri untuk “berwisata bahasa”. Atau mungkin dengan menyediakan sebuah museum bahasa daerah dengan menunjukkan betapa kayanya Indonesia dengan keragaman bahasa daerah yang dimiliki. Saya bangga dengan bahasa daerah saya dan bersyukur menjadi seseorang yang terlahir di Indonesia. Meskipun saya mengambil kuliah di jurusan bahasa Inggris, hal ini lebih karena saya ingin mengembangkan kemampuan bahasa saya. Siapa tahu suatu saat nanti saya bisa mengenalkan bahasa Jawa ke masyarakat dunia khususnya yang terlahir di English speaking countries dengan menggunakan kemampuan bahasa Inggris saya, sambil berkata “Mister, Madame, Mbak-mbak, Mas-mas, monggo mampir dhateng Indonesia. I’ll make sure you’ll be amazed and impressed there!” (Tuan, Nyonya, Mbak, Mas,  silahkan datang ke Indonesia. Saya bisa pastikan bahwa Anda akan merasa takjub dan kagum berada di negeri saya).

*tulisan ini pernah diikutkan lomba kompetisi menulis di blog, tapi nggak menang hehe...

The Invisible Chain

Pause.
Where were you?
Where are you now?
Where will you be then?

Everyone is living through an invisible chain.
They related to each other.

We are walking through the invisible change.
There is no doubt, everything may happen for at least a reason.

There is nothing happen so coincidentally.
We are pulled and pushed into something in every second.

The invisible chain was created by the owner of invisible hands.
May He always watch over us. Every second. Every moment.

Selasa, September 06, 2011

Lebaran Tahun Ini

Idul Fitri tahun ini alhamdulillah bisa kujumpai dan kujalani bersama keluarga. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saat malam takbir kami semua berkumpul di rumah Mbah. Pagi harinya shalat Ied, setelah itu ziarah ke makam mbah kakung. Baru setelah itu berkeliling ke rumah para tetangga.

Dulu aku cukup mempunyai banyak teman bermain saat kecil di lingkungan rumah Mbah ini. Tahun demi tahun berlalu, satu per satu mulai berubah. Salah satunya adalah banyak diantaranya yang sudah menikah. Wah, "ajaibnya" mereka semua masih inget namaku padahal udah beberapa tahun terakhir aku ke rumah mbah cuma pas lebaran (setahun sekali). Aku? Hehe, aku malah hampir lupa nama dari beberapa temanku itu. Paling cuma senyum aja saat "ber-lahir batin".

Yaps, manusia tumbuh. Beberapa tetangga kadang menebak-nebak apa benar aku dan adekku adalah anak dari ibuku (hehe, emangnya anak siapa lagi). Apalagi adek laki-lakiku yang terlihat makin  jangkung. Biasanya mereka geleng-geleng dan nggak menyangka kami sudah sebesar ini hehe.

Setelah acara keliling ke rumah tetangga, di rumah Mbah mulai cemal-cemil makan kue-kue lebaran. Beberapa saudara mulai berpencar ke rumah saudara yang lain. Kalau aku biasanya hanya di rumah Mbah saja sampai 3-6 hari ke depan. Kadang sampe bosen juga, hehe. Nonton tivi. Tidur siang. Nonton tivi. Makan. Sms-an. Tidur. Dan begitu seterusnya hoho...

Alhamdulillah...
Ied Mubarak ^^

Senin, September 05, 2011

Teman-Teman "Unik"

Entahlah, apa definisi "unik" yang aku buat untuk judul postingan ini. Mungkin tentang teman-teman yang kukenal dengan cara yang berbeda. Berbeda dalam hal? Hmm, berbeda dari kebanyakan caraku mengenal teman-teman pada umumnya. Hehe, baiklah. Lupakan tentang definisi atau apapun itu.

*sengaja kali ini aku tak menyebutkan  nama mereka*

Dia kukenal saat duduk di bangku kelas 2 SMP melalui surat. Yups, sahabat pena. Dulu aku sangat menyukai dunia surat-menyurat (korespondensi). Waktu itu aku sering beli tabloid Fantasi dan di situ biasanya halaman khusus tentang siapa saja yang mau bersahabat pena.