Rabu, September 07, 2011

Indonesia dan Bahasa Daerah*

Suatu sore pada pukul 15.00 dari Stasiun Kota Baru Malang, Kereta Matarmaja yang saya tumpangi menuju Jakarta baru saja melaju.

Sewuan, sewuan…,” seru seorang pedagang makanan menjajakan makanannya.
Saat kereta terus melaju ke arah barat, keesokan harinya…
Saribuan, saribuan…,” pedagang yang lain juga tampak semangat menawarkan dagangannya kepada para penumpang kereta.
Sewuan, saribu, dua kata yang berbeda tetapi memiliki sebuah arti yang sama: seribuan. Pedagang yang berbeda dari dua suku yang berbeda (Jawa dan Sunda) sama-sama menjemput rejeki dengan menjual makanan ringan seharga seribu per satuannya. Mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing dalam ‘mempromosikan’ dagangannya.

Di kesempatan yang lain, saat saya baru saja tiba di Bandung, saya merasakan roaming. Orang-orang di sekitar saya menggunakan bahasa Sunda yang sama sekali tidak familiar di telinga saya. Jika biasanya saya disapa dengan panggilan Mbak, kini disapa dengan panggilan Neng. Agak kikuk rasanya, tapi ya mau bagaimana lagi.

Saat saya berkunjung ke Universitas Negeri Jakarta, saya jarang sekali mendengar adanya percakapan dalam bahasa Jawa. Hal ini tentu berbeda sekali dengan yang sering saya dengar di kampus saya, Universitas Negeri Malang, di mana sebagian besar mahasiswanya menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Tentu saja berbeda, ya, hehe. 

Saya pernah disangka oleh seorang kawan bahwa saya ini orang  Surabaya, ya sebenarnya tidak terlalu meleset juga karena saya asli Malang (cukup 2 jam jaraknya dari Surabaya jika ditempuh dengan bus patas). Tampaknya kawan saya itu menebaknya dengan cara (logat) bicara saya. Ah, belum tahu dia jika di Malang ada juga boso walikan. Setiap kata diucapkan secara terbalik. Misalnya kata “saya” berubah menjadi “ayas”, dan kata “rek” (sapaan antar sesama teman) bisa berubah menjadi “ker”. Yang paling familiar adalah kata “arek Malang” yang berubah menjadi “kera Ngalam”, huruf “e” dalam “kera” diucapkan seperti “e” dalam “bebek”.

Indonesia dengan keberagaman suku dan budayanya tak pernah lepas dari bahasa daerah yang dimiliki di wilayah masing-masing. Salah satu contohnya ada di Jawa Timur. Pulau Madura punya bahasa Madura dan menurut penjelasan seorang kawan asli Pamekasan, bahkan bahasa Madura itu pun bisa berbeda-beda tergantung daerahnya. Di kampus mudah saja menebak seorang kawan itu asli Malang atau bukan dengan mendengar bagaimana ia menyapa teman-temannya. Jika ia menyapa dengan “Rek” maka ia bisa cukup dipastikan berasal dari Malang, tetapi jika menyapa dengan “Cah” (yang berasal dari kata bocah) ada kemungkinan dia berasal dari Blitar atau Kediri.

Bahasa daerah itu sangat unik. Kita bisa menebak seseorang itu berasal darimana dengan mengetahui logat atau dialek bicaranya, seperti seorang kawan yang berasal dari Padang. Meskipun dia sedang (berusaha) bercakap-cakap dengan bahasa Jawa, tetap saja bisa ditebak bahwa dia bukan asli orang Jawa. Saat berada di sebuah forum nasional, seorang peserta pernah protes karena mendengar saya dan kawan saya yang sama-sama asli Malang sedang bercakap-cakap dalam bahasa Jawa khas Malang. “Jangan pakai bahasa planet,” sindirnya dengan nada bercanda yang dimaksudkan agar saya dan kawan saya ini menggunakan bahasa Indonesia saja dalam berkomunikasi.

Pulau Jawa meski memiliki bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, tetapi tetap saja ada perbedaan-perbedaan di tiap daerahnya. Di Jawa Timur misalnya, bahasa Suroboyoan cukup dikenal dengan penggunaan bahasa Jawa yang lebih ‘kasar’ dari bahasa Jawa di daerah lain. Bahkan seorang kawan dari Madiun pernah merasa bahwa orang Malang sudah terlalu kasar dalam berbicara, meski Madiun dan Malang sama-sama memiliki bahasa Jawa sebagai bahasa daerah. Sebuah kata dalam bahasa Jawa bisa tidak dipahami oleh orang berbahasa Jawa lainnya. Saya sempat bingung saat seorang kawan menyebut kata “panggah”, dan saya baru ngeh bahwa kata itu berarti “tetep” dalam bahasa yang saya-gunakan-sehari-hari . Panggah=tetep=tetap. Konon, semakin ke barat bahasa Jawa akan semakin halus. Bahasa Jawa arek Malang bisa dipastikan akan berbeda jika dibandingkan dengan cah Solo, misalnya. Orang Yogya mungkin akan beranggapan bahwa orang Surabaya tidak sopan karena berbicara terlalu cepat dan blak-blakan. Sebaliknya, orang Malang bisa beranggapan orang Solo terlalu ‘lamban’ hanya karena cara bicaranya yang pelan. Saya tidak bermaksud untuk mendiskriminasi salah satu pihak, hanya saja saya ingin menunjukkan betapa bahasa daerah di Indonesia itu sangat unik dan menarik untuk dikenal. Ah, saya sendiri pernah kebingungan saat diajak mengobrol dengan ibu seorang teman yang berasal dari Semarang. Entah kenapa meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa, saya sempat tidak mengerti apa yang ditanyakan oleh ibu teman saya itu. Sempat bertanya-tanya, “Kenapa saya tidak nyambung, ya?”

Keunikan bahasa daerah yang ada di Indonesia juga sering dijadikan bahan untuk melawak. Contohnya ada pada Sule salah satu pelawak di Opera van Java. Dia begitu ‘berhasil’ mengundang tawa para penonton saat ia berusaha menggunakan bahasa Jawa yang cukup terdengar ‘lucu’ di lidah Sunda-nya. Saat menggelar road show di Malang, hanya dengan dua tiga kata dalam bahasa Jawa yang diucapkannya, sontak semua orang bisa tertawa. Begitu pula saat menggelar road show di Bali atau Semarang. Bahasa daerah memang memiliki sebuah daya tarik tersendiri.

Seorang dosen di kampus saya pernah mendapat guyonan dari seorang kerabatnya. “Sudah jauh-jauh kuliah di Amerika, tapi bicara bahasa Jawa masih lancar.” Saat beliau di Amerika pun, seorang profesor pernah dengan tepat menebak bahwa dosen saya ini adalah asli orang Jawa. “Pelafalan ‘b’ dan ‘d’ yang Anda miliki lebih berat,” jelasnya saat dosen saya bertanya padanya. Sepertinya sebagian besar orang Indonesia tahu, bahwa orang Jawa memiliki kecenderungan pelafalan huruf b dan d yang lebih ‘berat’ atau istilahnya medhok. Beliau pun menjelaskan bahwa bagaimana pun bahasa ibu itu susah untuk dihilangkan.
Bahasa daerah sering terbawa saat sedang berbicara berbahasa asing. Sudah menjadi bahan candaan di kelas, bahwa ada beberapa orang yang masih berkomunikasi dengan JavLish alias Javanesse-English. Jadi ia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris tapi masih kelihatan medhok-nya. Seorang teman yang berasal dari Madura pun masih kelihatan Madura-nya saat ia sedang berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
Beberapa acara di televisi yang mengangkat wajah Indonesia dari sisi keberagaman sukunya, dapat dipastikan akan selalu ada bahasa daerah yang dimiliki di masing-masing daerah. Kalimat “Apa kabar?” mungkin memiliki ratusan padanan yang sama dalam bahasa daerah yang ada di Indonesia. Kalimat sapaan juga memiliki beragam variasi di masing-masing daerah. Tampaknya bahasa daerah itu sendiri dapat dijadikan salah satu kekayaan negeri ini.

Sebagian besar masyarakat Indonesia fasih menggunakan setidaknya dua bahasa dalam berkomunikasi, yaitu bahasa daerah atau bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bukankah itu adalah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh orang Indonesia? Sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, meski ada ratusan bahasa daerah yang dimiliki Indonesia, tetap saja kita semua adalah orang Indonesia.

Hhhm, tampaknya cukup menarik jika ada paket wisata yang mengajak para wisatawan domestik atau luar negeri untuk “berwisata bahasa”. Atau mungkin dengan menyediakan sebuah museum bahasa daerah dengan menunjukkan betapa kayanya Indonesia dengan keragaman bahasa daerah yang dimiliki. Saya bangga dengan bahasa daerah saya dan bersyukur menjadi seseorang yang terlahir di Indonesia. Meskipun saya mengambil kuliah di jurusan bahasa Inggris, hal ini lebih karena saya ingin mengembangkan kemampuan bahasa saya. Siapa tahu suatu saat nanti saya bisa mengenalkan bahasa Jawa ke masyarakat dunia khususnya yang terlahir di English speaking countries dengan menggunakan kemampuan bahasa Inggris saya, sambil berkata “Mister, Madame, Mbak-mbak, Mas-mas, monggo mampir dhateng Indonesia. I’ll make sure you’ll be amazed and impressed there!” (Tuan, Nyonya, Mbak, Mas,  silahkan datang ke Indonesia. Saya bisa pastikan bahwa Anda akan merasa takjub dan kagum berada di negeri saya).

*tulisan ini pernah diikutkan lomba kompetisi menulis di blog, tapi nggak menang hehe...

2 komentar: