"Apa itu bahagia?" tanyaku.
Dia terdiam beberapa detik. Pandangan matanya masih menyapu langit malam.
"Kenapa kau pertanyakan?" dia malah balik bertanya.
Ah, selalu. Pertanyaanku selalu dijawabnya dengan pertanyaan baru.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh bertanya?" aku mulai kesal.
Kini ia menatapku kemudian tersenyum, "Menurutmu sendiri?"
"Hmm...," aku berpikir sejenak. Mencoba mencari kata-kata untuk mendeskripsikan kata itu.
Kami terdiam beberapa saat. Dia merapatkan jaketnya.
"Saat tidak ada kekhawatiran. Saat tidak ada kesedihan atau penderitaan," jawabku.
"Bagaimana jika kebahagiaan adalah penderitaan itu sendiri?"
"Maksudnya?"
"Seseorang akan merasa bahagia saat ia melihat orang lain menderita. Jadi, kebahagiaan itu adalah penderitaan."
"Atau sama juga dengan
kesedihan dan kekhawatiran. Ada orang yang baru bisa merasa bahagia saat
ia berhasil membuat orang lain sedih dan khawatir," sambungnya.
Benar juga.
"Tapi, itu kan bukan kebahagiaan yang sesungguhnya," sanggahku.
"Lalu, apa kebahagiaan yang sesungguhnya itu?"
"Sebentar...," aku memerlukan sedikit jeda, "Saat kita bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain?"
"Benar kah dengan begitu kita akan bahagia?"
"Ya, setidaknya orang lain
bisa bahagia. Di dunia ini masih cukup banyak orang yang merasa bahagia
ketika orang-orang di sekitarnya bisa bahagia karena dirinya."
Dia mengangguk. Syukurlah, kali ini ia bisa sependapat denganku.
"Dan, di mana letak kebahagiaan itu?"
Ah, mengapa dia malah bertanya lagi.
"Di dalam hati."
"Kebahagiaan yang tulus ada
di dalam hati. Letak kebahagiaan yang sejati ada di dalam hati,"
lanjutku lagi sebelum disanggahnya lagi.
"Apa buktinya?"
"Hati sendiri yang akan membuktikannya."
Dia menyunggingkan sebuah senyuman. Setidaknya kali ini ia tak akan mendebatku terlalu jauh.
"Buatku, kebahagiaan itu saat
kita merasa kosong. Benar-benar tidak ada isinya. Kecuali sebuah
rasa...," dia menggantungkan kata-katanya sejenak. Aku sebal jika dia
sudah berada di titik ini karena pasti akan membuatku tak bisa
menanggapi atau mengeluarkan sepatah kata pun lagi.
"Sebuah rasa yang hanya bisa
kita rasakan tetapi tak cukup kata untuk mendeskripsikannya. Sebuah rasa
yang ringan. Kita tahu masih ada beban dalam kehidupan kita, tapi kita
yakin bahwa akan selalu ada cara untuk mengatasi semua masalah di setiap
beban itu. Saat kita merasa sudah lelah, kita masih bisa berjalan ke
depan karena kita tahu kelelahan ini pasti akan terbayar di ujung jalan
sana. Kadang menangis juga adalah sebuah bentuk dari kebahagiaan itu
sendiri."
Menangis?
"Di saat hanya ada kita dan
Dia. Mencurahkan semua rasa pada-Nya. Bergantung pada-Nya. Percaya bahwa
kita tidak pernah sendiri. Menitikkan air mata bukan karena duniawi
tapi lebih karena ingin selalu berada di dekat-Nya, tidak ingin jauh
dari-Nya. Menangis karena sebentuk rasa syukur. Hanya orang-orang
beruntung yang bisa mendapatkan kebahagiaan yang seperti ini."
"Jadi, kebahagiaan itu...," dia menoleh kepadaku.
"...ada di dalam diri setiap manusia," sambungku kemudian tersenyum padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar