Judul :
Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis :
Tere Liye
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Kedua, Februari 2012
Tebal :
512 halaman
ISBN :
978-979-22-7913-9
Kita bisa melihat Sungai Kapuas
setidaknya dengan dua kisah yang berbeda. Pertama, sungai dengan kisah bencana
sepanjang tahun. Di musim kemarau, sungai mengering hingga berubah menjadi
seperti lapangan yang berdebu. Anak-anak kecil bahkan bisa bermain bola di
sana. Penduduk pun kekurangan air bersih. Sebaliknya, saat musim penghujan datang,
air di Sungai Kapuas bisa meluap. Kedua, sungai dengan kisah cinta. Terlihat beberapa
sepit sudah berjejer rapi di dermaga kayu setiap paginya. Di urutan ke-13,
tampak Borno yang setia menunggu seorang gadis menumpang di sepitnya tepat
pukul 07.15.
“Kalian
tahu, cinta sejati laksana sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah
berhenti, semakin lama semakin besar sungainya, karena semakin lama semakin
banyak anak sungai perasaan yang bertemu.” (hal. 167-168)
Borno pernah bertanya pada Koh Acong,
Cik Tulani, dan Pak Tua tentang panjang Sungai Kapuas. Bukannya langsung
mendapatkan jawaban yang pasti, ia malah diomeli dan ditertawakan. Hidup di
kota Pontianak yang sekaligus menyimpan misteri tentang asal-usul namanya ini,
tak pernah lepas dengan kehidupan masyarakatnya di tepian Sungai Kapuas. Hampir
semua kegiatan dan kehidupan masyarakatnya berpusat di sana. Sayangnya, baru-baru ini terdengar kabar buruk bahwa
Sungai Kapuas sempat tercempar dengan tumpahnya minyak sawit. Namun, sekarang
kita akan menikmati sisi lain tentang Sungai Kapuas melalui kisah cinta dari
seorang pemuda bernama Borno di Kau, Aku,
dan Sepucuk Angpau Merah.
Seperti
beberapa pemuda Indonesia yang bernasib kurang beruntung, Borno tak bisa
melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Rencananya untuk bisa kuliah sambil
bekerja tak bisa terlaksana. Selepas SMA, ia bekerja di sebuah pabrik
pengolahan karet. Setelah bekerja selama enam bulan, ia dipecat bersama
beberapa karyawan lain. Sejak saat itu ia mendapatkan pekerjaan baru sebagai
penjaga palang masuk di dermaga feri.
“Sepanjang kau mau bekerja, kau tidak
bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini
yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya
tidak pantas dengan ijazah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran
kita tinggi sekali, padahal tanah dan air terbentang luas.” (hal. 49)
Saat
tahu bahwa Borno bekerja di dermaga feri, sontak Bang Togar yang sekaligus menjabat
sebagai ketua Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta geram. Ia tak rela
melihat Borno bekerja di pelampung (sebutan untuk kapal feri). Bahkan, Bang
Togar melaminating dan menempel foto Borno besar-besar di dermaga kayu. Borno
diboikot, ia tak boleh naik sepit hingga berhenti bekerja di pelampung.
“Kau
anak tidak tahu diuntung, Borno! Tiga turunan! Tiga turunan pelampung itu
menghabisi kehidupan kita!” (hal. 34)
Di usianya yang
ke-12, Borno tinggal hanya bersama ibunya. Bapaknya yang merupakan seorang
nelayan meninggal karena tersengat ubur-ubur. Borno sangat sedih saat itu.
Tidak hanya ia harus menerima kenyataan bahwa ia menjadi anak yatim tetapi juga
ia merasa ada perampasan hak kehidupan yang seharusnya masih bisa didapatkan
oleh Bapaknya. Tepatnya sepuluh tahun yang lalu, Borno duduk di lorong RSUD
Pontianak menangis terisak. Ia tak rela dada Bapaknya dibelah, ia tak rela.
Sejak aksi
pemboikotan yang dilakukan oleh Bang Togar itu, Borno akhirnya berhenti bekerja
di dermaga feri. Ia pun bekerja serabutan, menjadi petugas SPBU terapung,
membantu Cik Tulani dan Koh Acong, hingga mencari kucing hilang. Kemudian, pada
suatu malam, sebuah keputusan dibuat. Borno akan menjadi pengemudi sepit.
Mendapatkan pekerjaan baru sebagai
pengemudi sepit tidaklah mulus. Tiga hari lamanya Borno harus rela diplonco
Bang Togar. Pak Tua hanya bisa menghiburnya agar tidak mengambil hati sikap
Bang Togar. Andi, sahabat Borno, hanya bisa mendengus mengetahui sikap Bang
Togar pada Borno. Andi malah berniat untuk langsung mendorong Bang Togar jatuh
ke Kapuas jika dirinya yang diperlakukan seperti itu.
Bagi penduduk Pontianak, segala aspek
kehidupan mereka tak pernah bisa dilepaskan dari Sungai Kapuas. Penduduk
sekitar terbiasa beraktivitas dengan sebuah perahu kayu panjang bermesin tempel
bernama sepit. Keberadaan dermaga feri memang mengancam kehidupan para
pengemudi sepit. Meskipun begitu, para pengemudi sepit tetap dengan setia
mengantre di dermaga kayu setiap pagi. Mereka dengan tertib menunggu giliran
menaikkan penumpang yang diatur oleh seorang petugas timer. Pak Tua adalah salah satunya.
Apa cinta sejati itu? Itulah pertanyaan
terbesar Borno. Di tengah segala permasalahan dan kegundahan hati Borno, penulis
menghadirkan sosok Pak Tua. Pak Tua bagaikan sebuah mata air yang bisa
menyejukkan hati siapa saja yang berada
di dekatnya. Pengalaman Pak Tua mengelilingi hampir separuh dunia menjadikannya
sebagai sosok yang kaya akan pengalaman berharga. Hanya pengalaman-pengalaman
hebat dan besar lah yang membuat seorang manusia menjadi makhluk yang paling
bijak. Borno dan Andi pun sering menghabiskan malam bersama Pak Tua.
Di suatu malam, sebuah kisah cinta
tentang Fulan dan Fulani yang dibalut dengan latar sejarah Indonesia
diceritakan oleh Pak Tua. Secara tidak langsung, kita juga digiring untuk
mengingat beberapa kilasan sejarah penting di negeri ini, seperti perang di
Surabaya, pemberontakan G-30S/PKI, peristiwa Malari 1974, dan krisis 1998. Penulis
melalui Pak Tua membuka mata kita tentang keindahan hakiki dari sebuah kisah
cinta. Pak Tua menuturkan bahwa kisah Fulan dan Fulani bukanlah cinta gombal,
melainkan cinta yang diwujudkan melalui perbuatan (hal. 174).
Siapa sangka di hari pertama Borno
menjadi pengemudi sepit malah menjadi hari yang paling bersejarah di hidupnya.
Salah satu penumpang sepitnya saat itu adalah seorang gadis berbaju kurung
kuning yang langsung membuat Borno terpesona. Gadis itu meninggalkan sebuah
angpau merah. Dari sinilah kisah cinta Borno bermula.
“...
Tapi aku akan membiarkan kau sendiri yang menemukan kalimat bijak itu. Kau
sendiri yang akan menulis cerita hebat itu. Untuk orang-orang seperti kau, yang
jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, definisi cinta sejati akan
mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan.” (hal. 175)
Borno jatuh cinta. Ia harus mengumpulkan
keberanian ekstra hanya untuk menanyakan nama sang gadis. Berkali-kali ia
meminta nasihat Pak Tua. Tak jarang, ia meminta saran pada Andi. Bahkan, Bang
Togar memberikan tips kencan secara cuma-cuma. Saat Borno tahu bahwa gadis itu
bernama Mei, ia malah membuatnya tersinggung. Kunjungan ke Surabaya dan Kuching
pun semakin melekatkan bayangan Mei di pikiran Borno.
Novel yang memiliki versi asli cerita lebih
panjang dengan judul Kau, Aku, dan Kota
Kita ini memiliki tokoh-tokoh sederhana dengan lika-liku kehidupannya
masing-masing. Penulis seperti mengajak kita untuk menebak-nebak masa lalu Pak
Tua yang hingga kini malah memutuskan untuk membujang dan menetap kembali di
Pontianak. Penulis pun membawa kita ikut menyibak kisah cinta Bang Togar yang
cukup mengharukan. Tak lupa, perjuangan Borno untuk mencari kejelasan perasaan
dan kenyaatan pada Mei.
“Maafkan
aku, Abang. Kita hanya akan saling menyakiti jika terus bertemu. Aku sungguh
tidak mau membuat Abang sedih.” (hal. 470)
Membuka halaman demi halaman novel ini
semakin membawa kita melihat rona indah kehidupan di sepanjang Sungai Kapuas. Penduduk
Pontianak yang berasal dari Melayu, Dayak, dan Cina bisa hidup damai berdampingan
dengan hadirnya tokoh Koh Acong, Cik Tulani, Pak Tua, dan Bang Togar. Jika kita
disuguhi pemandangan tepian Kapuas dengan meminjam kacamata penulis, kita akan
disuguhi banyak hal yang bisa membuat kita tergelak. Saat pagi tiba, kita bisa
melihat Pak Sihol kesal saat sabunnya hanyut karena laju sepit yang dikemudikan
Borno; dermaga kayu yang dijajari sepit yang menunggu giliran; teriakan petugas
timer; gerakan senam pagi yang
dipimpin oleh Bang Togar dengan iringan musik SKJ; keriuhan yang semakin memanas
di lomba balap sepit; hingga melihat Borno mengemudikan sepitnya dengan lambat mengantar
Mei selama 15 menit membelah Sungai Kapuas setiap paginya.
Jika malam tiba, kita bisa seolah ikut
asyik menyantap gulai kepala kakap bersama Borno dan Pak Tua sembari menatap
malam yang indah di tepian Kapuas. Dengan diterangi cahaya bulan di malam
ketiga belas, penulis seperti menyulap kita menjadi sosok anonim yang ikut
duduk mendengar kisah-kisah tentang cinta dan kehidupan yang dituturkan oleh
Pak Tua. Menurut Pak Tua, cinta sejati adalah perjalanan yang tak memiliki
ujung seperti siklus air. Ia berkata bahwa Sungai Kapuas jauh lebih abadi
dibanding sebuah kisah cinta gombal manusia. Jarak dan waktu bisa langsung
memutuskan sebuah kisah cinta gombal. Sebaliknya, selama ribuan tahun Sungai
Kapuas masih tetap berada di Pontianak meskipun airnya semakin keruh (hal.
168).
Meskipun novel ini membahas tentang
romantisme di tepian Kapuas, penulis juga menyelipkan beberapa hal agar kita
lebih peduli dengan kelangsungan hidup di Sungai Kapuas melalui narasi dan
dialognya. Seperti, demo soal lingkungan hidup (hal. 22), pendangkalan sungai
(hal. 244), dan illegal loging (hal.
177). Topik-topik tersebut dihadirkan secara singkat dengan tetap menjadi
pelengkap alur cerita yang manis.
Borno memang pantas dijuluki sebagai
pemuda dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas. Meskipun ia dibuat
kalut dengan sebuah perasaan yang diawali oleh sepucuk angpau merah itu, ia
merasa sudah sangat beruntung memiliki Andi, Bang Togar, Cik Tulani, Koh Acong,
dan yang sudah dianggapnya sebagai bapak sendiri, Pak Tua (hal. 478). Masa lalu
dan masa kini juga saling mengait di kehidupannya terlebih saat Sarah hadir di
dalamnya. Kehidupannya sederhana. Ia seorang pemuda biasa—lulusan SMA, pengemudi
sepit hingga menjadi montir—yang dibuat galau karena cinta. Namun, ada banyak
hal yang bisa kita pelajari dari caranya menerima, menghadapi, dan menjalani
hidup di tepian Sungai Kapuas. Tere Liye memang selalu berhasil mengeluarkan
kilau dari sebuah mutiara kesederhanaan di setiap kisah yang ditulisnya,
termasuk dalam Kau, Aku, dan Sepucuk
Angpau Merah.
*resensi ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba menulis resensi Gramedia Pustaka Utama. pertama kalinya nulis resensi secara "serius" dan panjang, it's kinda fun :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar